Dalam era globalisasi, terkadang kita merasa dekat dengan hal-hal yang sebenarnya jauh dan merasa jauh pad hal-hal yang sebenarnya dekat. Seperti makna dari salah satu pepatah “sesuatu yang orang lain miliki akan selalu indah dalam pandangan kita, sedangkan hal indah yang kita miliki seringkali kita luput mensyukurinya”. Hal ini menjadi salah satu dampak karena adanya “standar sosial”. Standar sosial seringkali mempengaruhi cara kita berpikir, berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain. Standar sosial juga seringkali menjadi acuan untuk individu menilai diri sendiri dan orang lain. Persoalannya adalah, standar sosial setiap lingkungan itu berbeda. Jika kita terus menerus ingin terkesan keren dalam lingkungan masyarakat, bukankah itu melelahkan? Ada salah satu paradoks yang sering kita temui dimasyarakat “Kekayaan adalah apa yang anda tak lihat”, si Fulan ingin membeli mobil dengan tujuan ingin dipuji oleh orang-orang, padahal orang-orang tidak akan peduli dengan si Fulan tetapi mereka lebih berpikir bagaimana membeli mobil tersebut. Jadi jika kita ingin menjadi keren, itu tidak selalu ditampakkan dengan barang yang kita punya. Kekayaan sesungguhnya adalah apa yang tidak terlihat seperti hati yang luas, pikiran yang tumbuh, mobil yang tidak dibeli. Dalam pandangan islam, Khalifah Ahmadiyah ke-5 pernah menyampaikan pada Pidato di Ijtima Lajnah UK 2019 “Ketenteraman hati tidak bisa diraih dengan perantaraan kebebasan duniawi atau dengan mengikuti gemerlap dunia. Ketenteraman hati hanya bisa diraih dengan mendekatkan diri pada Allah Taala dan senantiasa mengingat-Nya setiap saat.”
Perlu kita sadari bahwa kunci utama kebahagiaan adalah datang dari faktor internal (kelapangan dada, pikiran yang positif) bukan dari faktor eksternal (pujian dari orang lain). Kebahagiaan bisa diraih karena kesehatan mental dan pikiran yang ada dalam tubuh kita. Di dunia saat ini, banyak diperbincangkan tentang pentingnya kesehatan mental. Dalam hal ini, ingatlah selalu bahwa kedamaian pikiran yang hakiki dicapai melalui kedekatan kepada Allah, bukan dengan mengejar hal-hal rendah lagi sia-sia.
Hal ini disebutkan dalam Al Quran Surah Ar-Ra’d [13]: 29
اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ
“Ketahuilah hanya dengan mengingat Allah hati akan memperoleh ketenteraman.”
Jika kita terus membeli barang atau melakukan hal yang sia-sia untuk mendapatkan validasi dari khalayak, lalu ketika kita tidak mendapatkan reaksi dari orang-orang, apakah kita akan bahagia? Itulah mengapa ketentraman dan kebahagiaan datangnya dari diri sendiri ketika kita mengingat Allah Ta’ala. Teringat salah satu penggalan lirik “standar manusia tapi standar yang mana? Karena semua ingin lebih dari sebelumnya”. Ini menandakan bahwa standar sosial tidak akan pernah ada pemenangnya, standar sosial tidak akan ada ujungnya. Alih-alih kita mendapatkan kebahagiaan, ujung-ujungnya kita akan mendapatkan kekecewaan. Intinya adalah batas dari perbandingan sosial itu tidak sehat, itu merupakan pertempuran yang tak pernah ada pemenangnya. Satu-satunya cara untuk menang adalah untuk tidak bertarung dari awal. Untuk itu janganlah beranggapan bahwa kebebasan dan gaya hidup dunia modern bisa memberikan ketenteraman hati, tetapi ingatan kepada Allah-lah yang memberikan seseorang kepuasan sejati. Realitanya, orang-orang yang beriman merasakan kepuasan dan suka cita di dalam hati mereka setiap kali mengingat Allah, merenungkan nikmat karunia-Nya dan keindahan ciptaan-Nya.
Kata “cukup” sering kita dengar dan ucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kata tersebut tampak seperti konservatif, mengabaikan potensi dan kesempatan yang ada. Tetapi kata cukup sebenarnya menyadari apa yang menjadi hak dan kebutuhannya, sedangkan nafsu menginginkan lebih dari kebutuhannya dan akan mendorong anda ke titik penyesalan. Diriwayatkan bahwa pada peristiwa lain beliau ikut makan daging panggang. Siti Aisyah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari wafat beliau tidak pernah sekali pun makan kenyang selama tiga hari berturut-turut. Ini menandakan kekuatan dari makna “cukup”. Dengan makan yang cukup kita bisa terhindar dari berbagai penyakit yang mengintai, dengan makan cukup kita bisa berbagi terhadap sesama, dengan makan cukup kita bisa mengontrol nafsu dan ketamakan kita. Akhir kata, dalam menghadapi gemerlap dunia serta perbandingan sosial, yang membedakan orang yang benar-benar kaya dan bukan adalah “cukup”. “Ya.. tapi saya punya sesuatu yang mereka belum punya… rasa cukup”
Oleh: Fivo Nugraha
Referensi:
- https://ahmadiyah.id/kesederhanaan-hidup-rasulullah.html
- Al Quran Surah Ar-Ra’d [13]: 29
- The Psychology of money