Telisik Etimologia Mantra Merdeka

1987

If reading is to free everyone’s mind,

Writing is to unite them

(Abu Ibnaih)

Sebuah Awalan

Lʼhomme est né libre, & partout il est dans les fers. Demikian Rousseau membuka buku Du Contract Social[i] dengan kata-kata legendaris ini. Ya, manusia terlahir merdeka, dan di manapun ia terbelenggu. Pembaca yang tertarik untuk lebih berkenaan dengan pemikiran Rousseau dalam buku ini bisa membaca tulisan Idrus Ruslan, Pemikiran Kotrak Sosial Jean Jacques Rousseau.[ii]  

Karena manusia secara fitrati tidak untuk hidup sendiri, maka ia akan segera terjebak dalam sebuah relasi kontraktif antara dirinya dengan keluarga, lalu masyarakat dan kemudian negara. Secara awam demikian yang terjadi dalam kehidupan kita. Bahkan jauh sebelum kita terlahir relasi kontraktif prakehidupan sudah kita lakukan di alam arwah sebagaimana pertanyaan retoris Tuhan Alastu birabbikum (Bukankah, Aku adalah Rab kalian?).[iii] Sebuah kotrak terawal—dalam segala definisi awal yang bisa dibayangkan manusia.

Bahkan, kata Rousseau, seseorang yang menganggap dirinya sebagai majikan saja pada hakikatnya jauh lebih bawahan lain dari pada mereka yang dianggap bawahan olehnya. Pada poin ini kita jadi teringat sabda Nabi Muhammada saw  1200 tahun sebelumnya: سَيَّدُ الْقَوْمِ خَادُهُمْ—pemimpin sebuah kaum hakikatnya adalah pelayan mereka. Lebih dari itu, bila kita agak sedikit berani memeras kalimat Rousseau di awal tulisan ini tentang keterbelengguan manusia oleh kewajiban-kewajibannya kepada sesamanya—atau dengan kata lain atas hak-hak sesamanya yang harus ia penuhi—maka kembali ingatan kita akan tersambung kepada sebuah hadits populer bahwa dunia ini seibarat penjara bagi orang yang beriman.[iv] Keterbelengguan adalah kodrat kehidupan.

Menyoal Kembali Makna Merdeka

Kata merdeka menurut beberapa sumber barasal dari kata Sanskerta maharddhika yang berarti kaya, sejahtera dan kuat sebagaimana bisa kita temui di Wikipedia. Secara etimologis, umumnya inilah asal usul kata merdeka yang sering kita jumpai. Filosofis kata merdeka rupanya lebih kepada puncak tujuan kemerdekaan itu sendiri yakni salah satunya kesejahteraan atau kemakmuran. Namun tentu saja, bahasa selalu berkaitan dengan rasa dan kelaziman. Jadi kita perlu ada gugatan atas kata yang sudah menjadi istilah ikonik perjuangan bangsa kita.

Bila kata merdeka yang berasal dari katas Sanskerta maharddhika secara etimologis nampaknya belum terlalu memuaskan kita. Hal yang lebih menjanjikan bisa kita temukan dalam padanan kata merdeka dalam bahasa Arab—tentu saja ini sangat terbuka untuk diperdebatkan. Dalam bahasa Arab setidaknya ada dua kata yang semakna dengan kata merdeka dalam Bahasa Indonesia, yaitu hurriyah (حُرَّيَةٌ) dan istiqlal (اِسْتِقْلَالٌ). Keduanya berarti kemerdekaan atau kebebasan.

Kata yang pertama, حُرَّيَةٌ berasal dari hurr atau harr yang berarti merdeka, murni, bebas, bukan hamba sahaya sejak lahirnya, panas waktu tengah hari atau hangat. Dari kandungan makna kata hurriyah kita mendapatkan gambaran tentang kebebasan dari segala perbudakan, kemurnian dari motif ingin menguasai yang lain dan seperti halnya matahari di tengah hari yang memancarkan panas dan terang sempurna maka kemerdekaan pun memberikan harapan yang cerah gemilang.

Adapun kata yang kedua, اِسْتِقْلَالٌ yang berasal dari kata dasar قِلَّةٌ (sedikit, menjadi sedikit) kita mendapatkan makna bahwa kemerdekaan hakikatnya adalah semakin berkurang atau sedikitnya ketergantungan kepada pihak lain. Secara bahasa istiqlal yang berarti semakin berkurang atau sedikit mengajarkan pesan bahwa merdeka bukanlah semata meraih kebebasan. Puncak kemerdekaan adalah terbebasnya dari ketergantungan kepada selain dirinya sendiri. Kesejahteraan yang disiratkan dalam kata maharddhika sebagai tujuan dari kemerdekaan ternyata tidaklah berada pada keberlimpahan melainkan lebih kepada kecukupan. Puncak dari kecukupan adalah ketiadaan. Uniknya peniadaan yang sempurna justru akan menghadirkan Sang Maha Ada—yang darinya segala sesuatu akan mengada sesuai hikmah-Nya. Inilah makna sejati dari kesejahteraan yang akan diraih oleh mereka yang telah meraih istiqlal. Inilah kemerdekaan yang sejati.  

Impian Utopis Kemerdekaan

Mengapa kemerdekaan begitu utopis bagi mereka yang memperjuangkannya?

Kemurnian. Inilah salah satu yang bertanggung terhadap susahnya kita meraih kemerdekaan yang sejati. Ketidakmurnian selalu mengintip setiap celah untuk dimasuki dan menjadikan para pejuang kemerdekaan kemudian mengkhianati perjuangan mereka sendiri. Konflik kepentingan, agenda terselubung, mental koruptif atau justru terlalu mendewakan kemerdekaan merupakan bentuk-bentuk ketidakmurnian. Bagian peliknya adalah kesemua itu merupakan keniscayaan dalam perjalanan hidupan. Cepat atau lambat akan terjadi.

Bila kita renungkan dengan seksama maka meraih kemerdekaan sejati merupakan hal yang nyaris mustahil—terlebih lagi untuk mempertahankannya. Kemerdekaan sejati hanya bisa diraih oleh perjuangan yang di bawah pimpinan seorang nabi. Karena hanya para nabilah yang mendapatkan jaminan oleh Tuhan yang mengutusnya bahwa perjuangannya akan sukses dan tidak pernah gagal. Dalam hal ini kita sungguh kagum atas kata-kata ‘atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ yang disusun oleh para pendiri bangsa ini dalam Pembukaan UUD kita. Sungguh benar luar biasa. Padahal konteks  kemerdekaan yang dimaksud ada dalam konteks profanitas kenegaraan.

Barangkali ada sebagian pembaca yang skeptis dengan pembahasan ini. Atau malah menganggap hal ini lebih utopis ketimbang utopia kemerdekaan itu sendiri. Komunitas Ahmadiyah di Indonesia merupakan salah satu contoh dari diskusi kita ini. Kiprah komunitas ini tercatat dalam sejarah Indonesia sedikitnya bisa dibaca dalam tulisan kecil Bambang Pranowo dengan judul yang ‘ngepop’ Ahmadiyah Disayang, Ahmadiyah Ditendang.[v] Atau, untuk yang agak lebih panjang lebar bisa ditemukan dalam laman resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan tajuk Kiprah Ahmadiyah Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia .[vi] Melalui dua tulisan tadi kita bisa menampak jejak keikutsertaan komunitas Ahmadiyah bersama dengan warga bangsa Indonesia lainnya dalam perjuangan kemerdekaan. Dalam tahap mempertahankan kemerdekaan Indonesia—kembali bersama sesama anak bangsa lainnya—Ahmadiyah berdiri kokoh pada pijakannya sebagai pengawal kalimat sakti ‘atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’. Komunitas ini sekuat tenaga menjaga kemurniaan perjuangan dengan menjaga rapat setiap celah yang memungkinkan menyelinapnya agenda-agenda yang akan menggugurkan cita-cita luhur kemerdekaan.

Media Tempo menurunkan sebuah tulisan yang di dalamnya ada pernyataan yang menjadi saksi atas keteguhan komunitas Ahmadiyah Indonesia dalam mengawal visi kemerdekaan bangsa dan negara yang disetiainya:

“Mereka (Jemaat Ahmadiyah) tidak pernah menggunakan taktik pintu belakang atau membonceng kekuatan-kekuatan lain secara tidak sportif dan karena itu tak pernah terdengar berita kericuhan di Indonesia dalam hal Ahmadiyah.”[vii]

Inilah yang dimaksud dengan kemurnian dalam ruh kemerdekaan sejati. Tentu saja Ahmadiyah tidak berdiri sendiri dalam hal ini. Kawan dan saudara sebangsa pun tidak sedikit yang sama berdiri kokoh. Dan ini pulalah yang menjadi penyangga pilar-pilar kemerdekaan Indonesia. 

Memposisikan Kembali Sebuah Rujukan

Kembali kepada makna etimologis kemerdekaan. Tilikan dari bahasa Arab dilakukan lebih karena penulis memiliki sedikit akses ke dalam khazanah kebahasaan ini. Jadi tentu saja kita tidak sedang membicarakan simbol-simbol atau identitas tertentu berkenaan dengan hakikat kemerdekaan.  

Momen kemerdekaan Indonesia yang genap berusia 75 tahun pun lebih historis—kalau tidak bisa disebut lebih dramatis—ketika upacara peringatan dilangsungkan dalam suasana pandemi Covid-19. Pasukan pengibar bendera dari 68 orang dikurangi jadi hanya 8 (itu pun hanya tiga orang untuk pengibar dan penurun bendera plus cadangan masing-masing satu orang). Bukan hanya itu saja. Bahkan paduan suara berikut orkestrasinya dilakukan secara virtual lewat Zoom. Sungguh sebuah aksen historis yang kuat jelang seabad berdirinya republik Indonesia.

Bangsa Indonesia tengah diuji serius komitmen kemerdekaannya. Bila makna maharddhika harus menunggu seperempat abad untuk terwujud maka itu artinya semangat hurriyah dan istiqlal wajib menjadi jalan terjalmenuju gerbang kejayaan. Dan kita tidak punya pilihan lain. Merdeka!


Oleh : Dodi Kurniawan

Sumber :

[i] https://www.rousseauonline.ch/pdf/rousseauonline-0004.pdf; https://www.ucc.ie/archive/hdsp/Rousseau_contrat-social.pdf

[ii] https://media.neliti.com/media/publications/56540-ID-pemikiran-kontrak-sosial-jean-jacques-ro.pdf

[iii] QS Al-A’raf: 173

[iv] Shahih Muslim dengan kata kunci الدنيا سجن  https://sunnah.com/

[v] https://www.bantuanhukum.or.id/web/30/

[vi] https://ahmadiyah.id/kiprah-ahmadiyah-perjuangan-kemerdekaan-indonesia

[vii] Tempo; 21 September 1974

Sumber Gambar: sempiakvillas.com