Pidato oleh Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), Khalifah ke-2 Jemaat Muslim Ahmadiyyah.
Pada tanggal 18 Desember 1946, setelah shalat Maghrib, Dr. Mela Ram PhD, Profesor Fisika, FC College Lahore, menyampaikan ceramah tentang usia Bumi, sebelum berkumpul di Masjid Aqsa, Qadian, (India ). Yang Mulia, Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra), Khalifah kedua Jemaat Muslim Ahmadiyah sedunia, memimpin pertemuan tersebut. Usai ceramah Dr. Mela Ram, para hadirin diajak untuk bertanya, namun selain Dr Abdul Ahad, PhD, tidak ada yang bertanya. Setelah jeda singkat, Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra) naik ke podium untuk menyampaikan pidato agung beliau.
Setelah melafalkan Tashahhud, Ta’awwuz dan Surah al-Fatihah, Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (ra) bersabda:
Mungkin terlintas di benak sebagian orang bahwa dalam kitab suci agama, umur bumi dikatakan enam ribu tahun, namun ilmu pengetahuan membuktkan bahwa umur bumi adalah milyaran tahun. Sebenaranya, hal ini tidaklah bertentangan. Enam ribu tahun yang disebutkan dalam kitab suci agama mewakili periode sejak kedatangan Nabi Adam (as) hingga zaman sekarang. Karenanya, tidak ada konflik antara pandangan ilmiah dan agama tentang usia bumi.
Ketika kita mengatakan bahwa bumi berumur enam ribu tahun, kita menyimpulkan bahwa kedatangan Nabi Adam (as), yang merupakan bapak peradaban saat ini, terjadi enam ribu tahun yang lalu. Namun, bukan berarti tidak ada Adam sebelum kedatangan Adam (as) kita. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa kakek buyutnya berimigrasi ke India, apakah itu berarti bahwa kakek buyutnya tidak memiliki leluhur? Maksudnya adalah kakek buyutnya beremigrasi pada waktu tertentu, dan tentu ada leluhurnya yang lahir mendahului kakek buyutnya. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa Adam (as) yang disebutkan dalam Al-Qur’an bukanlah Adam yang merupakan nenek moyang umat manusia. Sebaliknya, Adam (as) yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah orang yang mendirikan peradaban saat ini yang berangsur-angsur berkembang dalam enam ribu tahun terakhir menjadi keadaannya saat ini.
Dari Al-Qur’an kita belajar bahwa umat dari Nabi Adam (as) bukanlah ras manusia modern, mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan bersosial dan berorganisasi layaknya manusia modern. Al-Qur’an menggambarkan mereka sebagai jin, yaitu orang yang tinggal di gua dan tidak berbaur di daratan sebagai komunitas. Pada zaman itu, otak mereka belum berevolusi ke titik di mana mereka dapat membentuk komunitas atau memahami pembagian tugas. Mereka dulu hidup terisolasi di dalam gua, kehidupan mereka mirip dengan harimau, cheetah, dan serigala, yang berkeliaran di hutan secara mandiri tanpa membentuk komunitas. Atas dakwah Nabi Adam (as), sebagian dari mereka menerima konsep kehidupan komunitas dan peradaban, sehingga disebut “tidak waras” [sebagai manusia yang beradab]. Dan mereka yang menolak untuk menerima dakwah Nabi Adam (as) adalah jin sebagaimana dimaksud dalam Al-Qur’an, karena mereka lebih suka tinggal di gua-gua dalam pengasingan. Mereka yang mengikuti Nabi Adam (as) mulai menjalani kehidupan di daratan dan mereka diberi gelar bashr dan insan [manusia beradab].
Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa tidak ada manusia sebelum kedatangan Nabi Adam (as). Penyebutan manusia dan jin tidak mengacu pada dua jenis makhluk, melainkan mengacu pada dua jenis masyarakat dan kondisi moral masing-masing. Pada masa Nabi Adam (as), hukum terdiri dari aturan sederhana yang mengajarkan bahwa jika orang hidup bersama dalam harmoni, saling membantu, dan membangun komunitas, mereka akan mengatasi kesulitan kehausan, kelaparan, dan pakaian. Itulah hukum dasarnya, yang terbebas dari segala macam seluk-beluk dan kerumitan. Hukum ini tepat dan konsisten dengan kapasitas intelektual manusia pada masa itu.
Ketika Nabi Adam (as) mempresentasikan hukum ini kepada umatnya, beberapa orang menerima ini dan setuju untuk mengikuti Nabi Adam (as); Karena itu, orang-orang ini disebut “Admi”(manusia). Mereka yang menolak menerima hukum ini disebut “jin”. Al-Qur’an mengatakan bahwa jin dan manusia akan terus ada di bumi ini. Status mereka yakni manusia bisa berubah menjadi jin, tergantung dari apakah mereka menerima atau menolak seorang Nabi. Dengan munculnya setiap nabi baru, sebagaian orang mencapai status manusia [admi] jika mereka percaya pada nabi; sementara yang menolak disebut sebagai jin.
Ungkapan bahwa dunia berusia enam ribu tahun menandakan usia peradaban sekarang. Agama tidak memberikan detail apa pun tentang zaman sebelumnya; kita belum dapat mengambil kesimpulan tentang ini dari kitab suci. Masa enam ribu tahun adalah saat manusia mulai mengikuti perintah agama. Sebelumnya, manusia tidak memiliki kapasitas untuk mengikuti hukum agama, oleh karena itu agama tidak mengacu pada periode tersebut. Para ilmuwan, ahli matematika, dan pakar geografi diharapan terus melanjutkan penelitian mereka [tentang usia bumi].
Agama adalah tentang masalah spiritual, dan seseorang tidak perlu menjadi ahli ilmu pengetahuan alam untuk mendapatkan kemajuan rohani. Itulah mengapa Allah Ta’ala tidak mengajarkan pengetahuan alam, geografi, atau matematika dalam agama. Sebaliknya, Tuhan Yang Maha Kuasa memberi manusia kebebasan untuk mempelajari disiplin ilmu ini melalui cara mereka. Dalam ruang lingkup agama, topik-topik ini tidak menjadi hal yang utama. Maksud saya, tidak perlu menjadi ahli fisika dan kimia untuk bisa menjalin ikatan yang kuat dengan Allah Ta’ala. Jika tidak maka sangat sedikit orang yang bisa meraih kedekatan dengan Tuhan.
Allah Ta’ala tidak membuat kesusahan apapun bagi manusia. Allah telah membuat jalan untuk menemukan-Nya begitu sederhana dan lugas sehingga bahkan orang yang memiliki kecerdasan dasar dapat mencapai Allah Ta’ala melalui ibadah rutin dan dengan mengadopsi moral yang diajarkan oleh agama. Jadi maksud dari usia enam ribu tahun adalah agama hanya menjelaskan umur dari awalnya perjalanan spiritual manusia, yakni dimana manusia mulai mengenal agama. Adapun zaman sebelum enam ribu tahun tersebut tidak ada hubungannya dengan agama.
Bayangkan, apakah kalian akan mengajarkan Al-Qur’an dan mengajak mereka mengikuti hukum Syariah kepada orang yang telah kehilangan kemampuan berpikir secara matang? Tentu saja tidak. Meskipun orang seperti itu berjalan, makan, minum dan bernafas seperti orang lain, tetapi dia tidak dapat dianggap sebagai manusia yang waras. Dari sudut pandang medis, tentu saja, dia adalah manusia, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk memahami agama dan hal-hal yang berkaitan dengan nilai spiritual. Beginilah keaadan manusia di zaman sebelum Nabi Adam (as), mereka tidak memiliki kapasitas intelektual untuk memahami agama.
Jawaban kedua adalah bahwa Islam tidak mengatakan bahwa Nabi Adam (as) adalah nenek moyang seluruh umat manusia dan bahwa tidak ada manusia sebelum dia. Hazrat Muhyiuddin Sahib Ibn Al-‘Arabi (rh) pernah diperlihatkan suatu pandangan bahwa dia sedang melakukan sirkuit Ka’bah dengan banyak orang lain. Seseorang mengatakan kepadanya bahwa Nabi Adam (as) juga melakukan sirkuit Ka’bah. Dalam penglihatan itu dia bertanya kepada seorang pemuda, ‘di manakah Nabi Adam (as)? Saya ingin bertemu dengannya.’ Lalu pemuda itu menjawab ,’ Adam yang mana yang anda maksud? Manakah Adam anda? Ada beberapa ribu Adam di sini.’
Renungkanlah, jika ada banyak Adam dan setiap zaman yang diawali Adam memiliki waktu beberapa ribu tahun, artinya Bumi memliki usia milyaran tahun. Namun, agama hanya memusatkan perhatian pada periode waktu ketika otak manusia telah cukup berkembang untuk memperoleh kapasitas untuk memahami agama. Jika ada beberapa ribu Adam dilahirkan selama milyaran tahun, itu pun tidak akan mewakili usia bumi. Karena langit dan bumi tidak perlu diciptakan pada hari yang sama dengan Adam yang pertama lahir. Tidak diragukan lagi, langit dan bumi telah diciptakan sebelumnya. Oleh karena itu, mencoba mencari tahu berapa lama langit dan bumi diciptakan sebelum Adam pertama seperti meraba-raba dalam kegelapan.
Jadi, tidak ada kontradiksi antara sudut pandang yang kami hadirkan dengan sudut pandang yang dikemukakan oleh Dr.Mela Ram. Ada pertanyaan lain yang ingin saya tanyakan padanya, tapi mungkin di kesempatan lain. Namun, salah jika mengatakan bahwa ada benturan antara agama dan sains. Agama adalah firman Tuhan dan sains adalah karya Tuhan; tidak ada konflik antara keduanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Mela Ram bahwa menurut penelitian mereka, usia dunia adalah 20 miliar tahun. Dalam hal ini, kami tidak melihat adanya kontradiksi dalam kata dan perbuatan Allah Ta’ala. Namun, jika tampaknya firman Tuhan bertentangan dengan karya Tuhan, artinya orang-orang beriman telah melakukan kesalahan dalam memahami agama atau para ilmuwan yang membuat kesalahan. Akan ada penelitian baru atau ilham baru yang akan menerangi atau menyelesaikan masalah itu.
Kemudian, kita juga tidak diwajibkan untuk menerima semua teori sains sebagai akurat. Misalnya, jika seseorang mengaku pernah mengunjungi Lahore, maka kemungkinan besar ia pernah mengunjunginya, tetapi itu bukan fakta mutlak bahwa ia benar-benar mengunjungi Lahore. Mungkin saja dia tidak mengunjungi Lahore dan berbohong. Hanya karena seseorang mengklaim bahwa mereka mengunjungi Lahore, tidak berarti bahwa kita harus menerima klaim mereka. Dengan logika sama, kebanyakan pernyataan yang dikemukakan oleh para ilmuwan hanyalah teori yang mereka simpulkan berdasarkan logika. Oleh karena itu, jika sesuatu mungkin terjadi secara logika, belum tentu logika mereka adalah benar. Jadi, jika teori ilmiah bertentangan dengan agama tetapi logika dan kebijaksanaan menyimpulkan bahwa teori tersebut bisa terjadi, kami berhak menolak teori tersebut. Kecuali didukung oleh bukti konklusif atau didukung dari sudut pandang agama.
Singkatnya, apakah usia bumi diperkirakan 30 juta tahun atau 3 miliar tahun, ini tidak bertentangan dengan konsep yang dikemukakan oleh agama. Ini karena kita tahu bahwa sifat Allah dari ‘Sang Pencipta’ [Khaliqiyyat] adalah kekal, yakni tidak terikat oleh waktu dan abadi. Dia selalu menjadi Pencipta dan sifat Penciptaan-Nya bersifat abadi. Jika kita mengatakan bahwa dunia ini berumur 20 miliar tahun, seolah-olah kita membatasi sifat Penciptaan Tuhan (Yakni hanya sebatas 20 miliar tahun). Membandingkan keabadian dengan 20 miliar tahun ibarat membandingkan setetes air dengan lautan.
Penerjemah : Khalida Jamilah
Sumber :
(Diterbitkan, Al-Fazl, 25 Januari 1947, hlm. 1-3)
(Anwar-ul-Uloom, Vol 18, hlm.495-502)
Sumber asli:
https://www.reviewofreligions.org/30399/the-age-of-the-earth/
Sumber Gambar : @Shutterstock