Latar Belakang
Fenomena korupsi telah ada dan dipahami sejak zaman kuno atau sebelum era modernisasi, jauh sebelum periodisasi kemunculan kapitalisme. Dengan berkembangnya zaman, korupsi semakin menjadi perhatian penting dalam tatanan kehidupan bernegara, serta mengalami perubahan arti. Mulai dari korupsi sebagai kemerosotan, pembusukan, dan kehancuran (degeneratif) moral (paham klasik korupsi), hingga pemahaman korupsi yang pada saat ini dimaknai hanya sebagai problematika tata kelola, penyelewengan mandat dan jabatan publik. Di lain pihak, kemunculan kapitalisme di Eropa pada abad ke-16, serta transformasi secara cepat dalam perkembangan zaman, menjadikan kapitalisme menjelma sebagai kekuatan hegemoni global. Sehingga, menurut Bratsis (2014) perkembangan kapitalisme terikat dan berjalan beriringan dengan pencarian makna korupsi dalam politik negara (political corruption).
Merosotnya Paham Korupsi
Pertama, pentingnya untuk menelaah fenomena pergeseran makna korupsi dari waktu ke waktu, serta kemungkinan terjadinya stagnasi, bahkan reduktif akibat dari pergeseran makna tersebut. Pandangan klasik tentang korupsi dapat kita lihat dari berbagai alam pikir beberapa masyarakat kuno, Yunani dan Romawi. Dalam masyarakat Yunani kuno pada abad ke-5 dan abad ke-4 SM, dikisahkan fenomena perluasan konteks penyuapan (dorodokia) sebagai penerimaan hadiah yang mengakibatkan suatu keburukan. Apa yang menentukan adalah dampak pemberian, bukan maksud pemberian, yang sebelumnya pemberian dalam masyarakat Mesopotamia, Mesir, Israel dan Yunani dimaknai sebatas resiprositas, pola kesalingan dalam tradisi klasik. Kemudian, di zaman Yunani kuno juga hadiah atau pemberian dipahami sebagai korupsi karena dampaknya merugikan kepentingan bersama polis. Digambarkan juga tentang kisah Demosthenes seorang politisi dan orator yang dianggap sebagai penghianat polis, dengan orang luar yang menginfiltrasi komunitas moral polis yang sifatnya mengancam kehidupan polis. Gambaran tersebut pada dasarnya hanya dalam konsepsi dalam masyarakat Yunani kuno melalui satu (proxy) persoalan saja, yakni suap. Tentunya, persoalan korupsi merujuk pada ciri moral tindakan, praktik, maupun gejala lebih komprehensif, dari keutuhan menjadi kerusakan atau kebusukan (Priyono, 2018). Menurut Kellam Conover Istilah Diaphtheiro (membuat korup) menjadi kata Yunani yang
paling negatif, mengungkapkan akibat buruk pada suatu kondisi, seperti merusak, menghancurkan, membusukkan, memikat, lalu menghancurkan kemurnian, sehingga istilah tersebut pada akhir abad ke-5 SM digunakan untuk menunjuk berbagai gejala kemerosotan dan penghancuran hakikat atau ciri sesuatu. Selanjutnya, di zaman Yunani dan Romawi kunolah awal dari apa itu korupsi politik, yang didasarkan dari sifat korupsi sebagai penghancuran hak dan tindakan individu yang melalui penilaian, sikap dan perbuatan yang korup itu dianggap membuat tatanan masyarakat dan pemerintahan menjadi busuk (Priyono, 2018).
Menurut Bruce Buchan dan Lisa Hill sekitar pertengahan abad ke-18 konsepsi korupsi jabatan publik mulai menggeser dominasi arti korupsi sebagai degeneratif (Priyono, 2018). Penyebabnya adalah dalam periode tersebut belum mengenal dikotomi antara publik dan privat, sehingga, hal ini terjadi hingga saat ini, bagaimana pergeseran makna pada hakikatnya menjadi reduktif atau dapat dikatakan mempersempit. Seolah persoalan korupsi tidak sebusuk ketika zaman kuno atau sebelum modernisasi. Dan hingga saat ini korupsi mengalami penyederhanaan makna, yang menimbulkan bias – bias definisi korupsi, seperti bias hukum, sentrisme negara, dan bias ekonomi. Bias hukum, karena penggolongan perilaku koruptif terpaku pada apa yang dirumuskan dalam undang-undang, bias sentrisme negara, karena korupsi dipahami hanya sebatas gejala dan perbuatan menyelewengkan perbedaan ranah publik pemerintahan dan ranah privat, dan bias ekonomi, karena korupsi hanya berkenaan dengan kerugian negara.
Hubungan Korupsi dan Kapitalisme
Dalam latar belakang masalah disebutkan, bahwa perkembangan kapitalisme erat kaitan nya dengan pencarian makna korupsi. Pertengahan abad ke-18 menjadi permulaan kondisi di mana kapitalisme menganggap penting fenomena korupsi hingga saat ini. Yang mencolok adalah ketika negara kapitalis, seperti Amerika Serikat dan sebagian negara Eropa yang menjadi sekutu memenangkan Perang Dunia ke-2 sebagai modal awal untuk meraih kekuatan dominasi atas negara bekas jajahan atau kalah dalam peperangan. Dan hal ini pula dianggap sebagai kemunculan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Praktiknya diimplementasi melalui konsep pembangunan ala barat dan etnosentris.
Pertengahan dan Akhir abad ke-19 menjadi masa, di mana korupsi dinilai penting untuk alat manipulasi dan intervensi politik dan birokrasi negara berkembang terutama, dikarenakan melimpahnya sumber daya alam. Intervensi kapitalisme berlangsung dengan
pemberian suap terhadap politisi dan birokrat, sehingga melalui jalan formal-legal tetapi yang dimanipulatif. Jika dikaitkan dengan pemahaman arti korupsi yang degeneratif ala zaman Yunani dan Romawi kuno, maka sesuatu yang manipulatif dan koruptif menimbulkan dampak terhadap masyarakat dan negara itu sendiri. Dapat kita lihat, intervensi kapitalis di Indonesia dengan diterimanya izin pertambangan, baik emas (Freeport), batu bara, dan lainnya, yang sebagian besar terjadi karena proses koruptif. Dalam posisi moral yang benar, seorang politisi atau pejabat lembaga tidak akan melakukan hal tersebut, karena dampaknya yang luas.
Korupsi bagi kapitalis memang dianggap sebagai biaya (cost) untuk kegiatan ekspansi bisnis, bahkan disamakan dengan pajak (tax) yang tentunya mengurangi jumlah modal yang dipersiapkan. Dengan adanya regulasi di setiap negara tentang mendirikan usaha, seperti mengadakan analisis dampak lingkungan (AMDAL), keharusan menyisihkan alokasi dana perusahaan untuk kegiatan sosial (corporate social responsibility), dan regulasi lainnya, mengharuskan kapitalis untuk menyuap para pejabat di level perizinan (bureaucratic corruption) atau menintervensi politisi dalam membuat undang-undang (political corruption).
Sementara yang terjadi saat ini ialah, negara sendiri yang memberikan keleluasaan kepada para kapitalis untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi sesuai target politik rezim. Artinya, waktu tempuh perizinan, banyaknya birokrasi perizinan, dan regulasi – regulasi lainnya yang menghambat investasi atau datangnya arus modal, baik itu asing atau domestic disederhanakan, bahkan dihilangkan. Seperti pada saat rezim Joko Widodo menjabat, paket deregulasi ekonomi gencar dilakukan untuk menyerap modal, sehingga akan meningkatkan kapasitas produksi dan industrialisasi, seperti Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja, yang membabat habis aturan – aturan yang berbenturan dengan keinginan dan kepentingan pemilik modal. Negara berdalih, ketika deregulasi dilakukan, maka akan meminimalisasi perilaku korupsi di Indonesia, dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Akan tetapi, pada kenyataannya, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi, kemudian pertumbuhanpun mengalami stagnasi.
Kesimpulan
Dinjau dari perspektif sejarah, korupsi yang dahulu dipahami sebagai hal yang merosot (degeneratif), kini bertransformasi menjadi lebih sempit, dan cenderung memerosotkan kembali makna korupsi, hingga saat ini korupsi masih “terpelihara” dengan baik, dan menjadi
momok bagi dunia, khususnya Indonesia. Korupsi dipelihara oleh kapitalisme untuk mengintervensi para pemangku kepentingan, sebagai penambahan biaya. Dan pada akhirnya, kapitalis dibuat mudah dan percaya oleh negara dalam kegiatan usahanya dengan menerbitkan kebijakan deregulasi, sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh kapitalis untuk melancarkan usahanya di suatu negara dengan memanipulasi apapun. Walaupun deregulasi itu dilakukan, bukan berarti korupsi hilang begitu saja, korupsi masih menjadi hal pembusukan moral.
Penulis : Khalid Walid Djamaludin (Peneliti Independen, PRODES Institute)
Sumber :
Bratsis, P., 2014. Political Corruption in the Age of Transnational Capitalism: From the Relative Autonomy of the State to the White Man’s Burden. Historical Materialism, 22(1), pp.105-128.
Priyono, B.H., 2018. Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Gramedia Pustaka Utama.