Relasi Kuasa Pada Pelaku Pelecehan Seksual

1144

Dulu, saya kira masalah pelecehan seksual hanya terpusat pada satu faktor, ketidakmauan si pelaku untuk menahan birahinya. Ternyata, masalah pelecehan seksual menyimpan elemen yang lebih luas dari sekedar itu. Bila kita perhatikan dengan seksama, pelecehan seksual terjadi lebih karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban, dibandingkan ketidakmampuan mengendalikan nafsu syahwat. Pelaku selalu punya kuasa lebih dibandingkan korban.

Herry Wirawan, si bukan manusia ini, adalah pemimpin pondok pesantren sekaligus guru; Novia yang diperkosa sang pacar yang anggota kepolisian; bahkan ayah yang memerkosa anak kandungnya; hanya segelintir dari begitu banyak kasus pelecehan seksual yang terlihat jelas adanya ketimpangan relasi kuasa di dalamnya.

Sederhananya, mereka memerkosa karena mereka bisa. Mereka punya kuasa dan korban bisa diancam atau ditekan untuk tidak melawan atau melapor. Bisa disimpulkan pula di sini, motivasi pelecehan seksual tidak selalu karena mereka tak mau menahan godaan syahwat ditambah kepemilikan atas kuasa yang lebih daripada korban, tetapi motivasi pelecehan seksual bisa jadi adalah hanya untuk menunjukkan atau meyakinkan diri sendiri dan orang lain atas kekuasaan yang dimiliki. Ego untuk diakui, memainkan peranan yang jauh lebih besar dalam pelecehan seksual, daripada sekedar hasrat yang tak tertahankan.

Dalam salah satu wawancara Oprah Winfrey dengan beberapa predator anak[1], mereka menyatakan bahwa mereka memilih anak-anak yang jiwanya rapuh, tidak percaya diri, suka menyendiri dan terlalu pemalu untuk bergaul dengan kawan-kawannya. Anak-anak dengan karakter semacam ini bisa dengan mudah dibujuk, ditekan, dan diancam sehingga mereka tidak melawan ketika pelecehan terjadi dan tidak melapor kepada siapapun sesudahnya.

Ada yang berkomentar di Twitter, fakta-fakta ini menjadikan dirinya dan suaminya bekerja semakin keras untuk menjadi orang kaya agar anak-anak mereka tidak dipandang rendah dan rentan jadi korban pelecehan seksual. Tetapi kemudian saya  teringat kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta International School[2] di tahun 2014, sekolah swasta dengan biaya yang pastinya hanya bisa dijangkau orang-orang kaya. Ini menunjukkan bahwa kekayaan tidak menjadi jaminan bahwa seorang anak tidak menjadi korban pelecehan seksual.

Wawancara Oprah ini menyalakan tombol warning kita, bahwa yang paling penting adalah membesarkan anak dengan karakter yang menjadikannya tidak rentan menjadi korban pelecehan seksual. Seorang anak harus tumbuh dengan rasa percaya diri, tangguh, dan memiliki wawasan tentang pendidikan seksual[3]. Ia harus tahu siapa saja yang boleh menyentuh bagian-bagian tubuhnya, dan bagian-bagian tubuh mana yang boleh disentuh, itupun atas seijin darinya.

Ia juga harus tahu apa itu pelecehan seksual dan bagaimana merespon ketika itu terjadi, entah pada dirinya atau orang lain. Ia juga harus memiliki kedekatan emosi dengan orangtuanya sehingga ia bisa dengan nyaman menceritakan apapun kepada orangtuanya, termasuk menceritakan pengalaman-pengalaman yang tak membuatnya nyaman. Dan ini semua tak bisa ditanamkan oleh uang begitu saja.

Ketika seorang anak tumbuh dengan rasa percaya diri, cukup akan kasih sayang dan kedekatan emosi dengan orangtuanya, ia akan tahu nilai dirinya dan insyaAllah lebih bisa menjaga diri. Jika suatu hari kejadian itu ditakdirkan terjadi padanya, dia tahu pada siapa dia harus mencari pertolongan dan kemana dia akan merasa aman dan nyaman.

Soal relasi kuasa, kita harus akui bahwa kita tak bisa mengubahnya. Tapi kita bisa menumbuhkan rasa percaya diri bahwa tidak ada seorang pun yang bisa merendahkan, menekan, dan mengancam diri kita. Dan rasa percaya diri itulah yang harus juga ditanamkan ke anak-anak kita kelak. Karena sungguh kita tidak pernah bisa tahu orang-orang seperti apa yang akan mereka hadapi kelak di masa depannya. Mempersiapkan mereka dengan bekal sikap dan pemikiran terbaik adalah jalan yang bisa kita usahakan.

Dunia tak pernah mampu menjanjikan keadilan bagi siapa saja. Kita bisa berjuang mati-matian demi mendapatkan keadilan yang seharusnya milik kita. Tapi kita tak bisa sepenuhnya berharap pada manusia. Kita harus sadar bahwa bila pelecehan seksual terjadi, selalu ada kemungkinan keadilan tak kita dapatkan.

Dan bila setelah kita berjuang, keadilan itu masih juga tak berpihak pada kita, kita harus pastikan bahwa nilai diri kita tak berkurang hanya karena tindakan pelecehan seksual tersebut. Sesungguhnya yang melakukan pelecehan seksual itulah yang telah merendahkan dirinya sendiri, serendah-rendahnya.

Nilai diri kita bergantung apa yang kita lakukan. Sebagaimana Tuhan hanya menilai manusia dari baik dan buruknya perbuatan[4], sebagaimana itu pula kita menilai diri dan orang lain. Selama kita melakukan kebaikan, dengan niat yang baik, dan dengan jalan kebaikan, maka tak ada alasan untuk menganggap rendah diri kita sendiri.

Dan untuk kita yang meyakini kekuasaan Tuhan, Tuhan adalah sebaik-baiknya tempat kembali. Sehancur-hancurnya kita, sesendiri-sendirinya kita, kita masih punya Tuhan. Dia adalah Kebahagiaan Hakiki, Dia sangat cukup bagi kita. Dan bagi Dia, yang rendah hanyalah mereka yang jahat dan zalim. Karenanya jangan pernah kehilangan keyakinan, walaupun seluruh dunia hanya meninggalkan kekecewaan.


Oleh : Lisa Aviatun Nahar

Referensi:

[1] Oprah on Protecting Your Children from Child Molesters https://youtu.be/jMrkqLVjoE0

[2] Kasus pelecehan seksual yang mengguncang sekolah internasional https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/08/140807_kasus_jis

[3] Studi: Pendidikan Seks Dapat Mencegah Pelecehan Seksual di Kampus https://www.suara.com/health/2020/05/09/171500/studi-pendidikan-seks-dapat-mencegah-pelecehan-seksual-di-kampus?page=all

[4] Dalam hadist riwayat Muslim Nomor 2564 disebutkan, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.”