Kapan Kita Bersikap Profesional dan Berlapang Dada di Sepakbola?

666

Kabar buruk datang lagi dari negeri ini. Pada tanggal 1 Oktober 2022 di Malang, lebih dari 130 orang tewas akibat sesak napas dan terinjak-injak akibat berdesakan di pintu keluar stadion beberapa saat setelah pertandingan Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan berlangsung. Kepanikian dipicu oleh lemparan gas air mata oleh aparat polisi di lokasi kejadian. Mereka dikabarkan berusia rata-rata 17 tahun. Usia yang masih sangat muda, penuh semangat membela tim kesayangannya.

Kejadian tewas terinjak seperti ini sebenarnya bukan hal baru dalam sebuah event yang melibatkan ribuan massa seperti konser musik atau pertandingan sepakbola. Sebaiknya panitia pelaksana sudah memiliki pengalaman dalam mengantisipasi hal-hal seperti ini termasuk skenario terburuk yang mungkin terjadi. Tragedi ini jelas memperlihatkan betapa minimnya kita belajar dari pengalaman, hanya sibuk meminta maaf dan melempar kesalahan kesana-kemari.

Siapa yang bertanggung jawab?

Yang pertama, jelas panitia penyelenggara. Perlu diketahui bahwa panitia penyelenggara pertandingan di Kanjuruhan Malang kemarin itu bukanlah PSSI melainkan PT. Liga Indonesia Baru (LIB). Memang mereka tidak memberikan tiket kepada suporter Persebaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tapi mereka tidak siap menghadapi kemungkinan buruk lain akibat keramaian.

Kabarnya, panitia menjual tiket sebanyak 42 ribu buah, sedangkan kapasitas stadion maksimal 38 ribu orang. Ada kelebihan sekitar 4 ribu orang di dalam stadion. Pihak kepolisian telah memperingatkan, tapi sebatas peringatan tanpa tindakan tegas apa gunanya? Demikian pula ketika polisi menyarankan supaya jam pertandingan lebih baik dilaksanakan sore hari, bukan jam 8 malam. Panitia pun ‘ngotot’ melaksanakan pertandingan di jam malam, sedang polisi juga menerima saja. Sungguh sangat disayangkan.

Disinilah polisi juga adalah pihak yang patut disalahkan. Sebagai instansi yang paling berpengalaman dalam menghadapi kerumunan massa, seharusnya sejak awal polisi itu tegas. Bila tiket lebih banyak terjual dari kapasitas penonton di stadion, batalkan saja pertandingannya. Juga apabila panitia ngotot mengadakan pertandingan di malam hari demi rating televisi, polisi juga harus tegas untuk membatalkan.

Sedikit saja ada masalah, layaknya bola salju yang sulit ditahan makin lama akan makin membesar dan sulit untuk dikendalikan. Pada akhirnya, apa yang ditakutkan pun terjadi. Jumlah penonton yang membengkak membuat situasi jadi tidak terkontrol. Kericuhan kecil saja sangat bisa memicu terjadinya kericuhan yang lebih besar.

Sesuai SOP yang dipakai saat itu, polisi menggunakan gas air mata demi memecah kerumunan. Coba bayangkan, penggunaan gas air mata di stadion yang tertutup dengan akses pintu keluar yang terbatas. Akhirnya yang terjadi ialah ribuan orang panik, berebut keluar dan saling menginjak sehingga hukum rimba terjadi: yang kuat akan menghabisi yang lemah. Entah sampai kapan kita mau belajar lebih professional. Kita biarkan dunia begitu saja menyaksikan betapa tidak profesionalnya kita dalam mengadakan event yang besar. Bukan tidak mungkin, dunia akan berpikir berkali-kali sebelum mengadakan event Internasional yang melibatkan kerumunan masa di Indonesia.

Adapun supporter adalah korban dari ketidakbecusan aparat dan panitia penyelenggara. Kalau memang ditemukan indikasi bahwa jumlah tiket terjual lebih banyak daripada kapasitas stadion, kepala panitia penyelenggara pertandingan sudah sepatutnya dihukum. Demikian juga oknum polisi yang memperbolehkan panitia penyelenggara melaksanakan pertandingan. Stop menyalahkan Tuhan dengan berkata “Semua ini takdir Tuhan”.

Tuhan sudah memberikan kita akal supaya bijak dalam berbuat sesuatu. Jika akal itu tidak dipakai dan tertutup nafsu, maka penyesalan yang tersisa. Saya rasa SOP dengan pemanfaatan gas air mata sebagai pengendali kerumunan di dalam stadion tertutup perlu dikaji ulang.

Keselamatan adalah hal yang utama. Panitia penyelenggara, aparat keamanan dan suporter klub sepakbola seluruh Indonesia sudah seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh agar peristiwa di Kanjuruhan tak terulang lagi sebab bolehjadi akan berpengaruh pada piala U-20 di Indonesia nanti.

Berlapang dada akibat kekalahan adalah sebuah keharusan seperti klub Inggris Manchester United (MU) yang sudah beberapa kali kalah dan dirundung oleh suporter klub bola lain. Selama 23 tahun Arema FC tidak pernah kalah saat berhadapan dengan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Bolehsaja kesal dan kecewa tapi tidak perlu turun ke lapangan juga.

Saya turut berduka cita atas meninggalnya korban tragedi Kanjuruhan. Semoga tidak ada lagi pita hitam tersemat dimana-mana. Sebagai penutup, saya akan menampilkan peringkat kematian akibat kericuhan pertandingan sepakbola di seluruh dunia berikut ini.


Referensi:

https://www.instagram.com/p/CjNhd8CJv7o/?utm_source=ig_web_copy_link
https://polri.go.id/berita-polri/2297
https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/d-6326422/misteri-pintu-stadion-terkunci-di-tragedi-kanjuruhan
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221003202418-12-855901/dua-polisi-gugur-dalam-tragedi-kanjuruhan-karena-kekurangan-oksigen