Tuduhan ini sering dilancarkan pihak-pihak yang memusuhi Ahmadiyah. Tuduhan didasarkan pada pandangan Ahmadiyah yang berbeda dengan pandang Muslim pada umumnya, misalnya tentang Khatamun Nabiyyin, terbukanya pintu wahyu, kewafatan Nabi Isa, kedatangan Imam Mahdi berikut beberapa persoalan turunannya. Ibarat munculnya telur bebek dalam eraman induk ayam, maka mestilah ada campur tangan pihak luar. Dengan logika inilah Ahmadiyah dituduh sebagai agen Yahudi. Ia dimasukkan dalam tubuh Islam untuk memecah-belah dari dalam. Tapi, benarkah demikian?
Setidaknya ada dua jawaban atas tuduhan ini. Pertama, jawabannya agak singkat. Bila kita cukup cermat ternyata Ahmadiyah tidak sendiri dalam semua pandangannya tersebut. Sebenarnya, posisi Ahmadiyah lebih kepada mengarusutamakan pandangan-pandangan dalam Islam yang sudah ada sebelumnya lalu kemudian terpinggirkan dari arus utama.
Tidak ada yang baru dalam Ahmadiyah. Ia ada untuk merefleksikan citra Islam di awal fajarnya. Ahmadiyah adalah cerminan Islam yang kemurniannya – dalam redaksi nabawi/profetik – sempat terbang ke bintang Tsurayya. Persis seperti halnya Imam Mahdi merupakan cerminan dari Nabi Muhammad saw yang dinubuatkan dalam Surah Jumu’ah, pun demikian dengan Ahmadiyah dalam Islam. Jadi, analogi telur bebek dalam sarang induk ayam sangat tidak relevan – bahkan cacat dalam segala aspeknya.
Secara teologis, Ahmadiyah justru membungkam pendakwaan Yahudi bahwa mereka telah membunuh Nabi Isa as di tiang salib dengan menyatakan bahwa Nabi Isa sewaktu diturunkan dari palang salib dalam keadaan hidup. Dalam saat yang bersamaan, Ahmadiyah juga mematahkan keyakinan Nasrani bahwa Nabi Isa as diangkat ke langit – setelah setelah sempat wafat sebagai penebusan dosa umat manusia – dengan menyatakan bahwa Nabi Isa as telah meninggal secara wajar kurang lebih 100 tahun pasca peristiwa penyaliban.
Kedua, jawaban berikutnya akan sedikit panjang lebar. Mari kita kaji tuduhan ini berdasarkan ilmu logika. Anggap saja struktur logikanya begini; “Jika perbedaan Ahmadiyah dengan Islam pada umumnya tidak dapat diterima, maka Ahmadiyah bukan bagian dari Islam. Perbedaan pandangan Ahmadiyah tidak dapat diterima, jadi Ahmadiyah bukan Islam.”
Tuduhan ini secara logika, mirip-mirip teka-teki ‘Bila 1/2 hidup = 1/2 mati, bukankah berarti bahwa mati = hidup?’ Secara operasional matematis 1/2 hidup = 1/2 mati bisa lakukan, akan tetapi secara rasional (bahkan secara logika pada akhirnya) terbukti tidak benar. Secara teknis fenomena ini dianggap sebagai sebuah logika tanpa rasionalitas. Mengapa bisa demikian?
Hidup dan mati merupakan contoh dari konsep biner yang tidak memiliki nilai tengah atau kontinu. Hidup dan mati merupakan satu entitas atau organisme hanya bisa berada dalam salah satu dari dua keadaan: hidup atau mati. Tidak ada keadaan di antara keduanya dalam konteks biologis atau logis. Jadi 1/2 hidup tidak bisa dipersepsi sebagai 1/2 mati. Operasionalisasi 1/2 hidup = 1/2 mati menjadikannya cacat bahkan secara logika.
Mungkinkah ada pernyataan yang logis tapi tidak rasional? Ya, sangat mungkin. Hal itu disebabkan adanya premis dalam struktur logika yang tidak rasional dalam realitasnya. Contohnya seperti berikut ini: “Jika hujan turun, maka jalanan basah. Hujan turun, jadi jalanan basah.” Ini logis. Kedua premisnya terkonfirmasi sesuai dengan dengan realitas. Ini yang disebut sebagai logis dan rasional. Akan tetapi, jika kita menggunakan premis yang tidak realistis, misalnya: “Jika unicorn (kuda bercula dan bersayap) ada, maka kita bisa melihatnya. Kita tidak bisa melihat unicorn, jadi unicorn tidak ada.” Ini logis dalam struktur, tetapi premisnya – yaitu keberadaan unicorn – tidak rasional karena unicorn tidak ada dalam dunia nyata.
Demikian juga halnya dengan tuduhan terhadap Ahmadiyah di atas. Logikanya tampak seperti sahih namun malangnya bila didasarkan pada jawaban yang pertama, maka tuduhan di atas cacat dan samasekali tidak logis mirip seperti halnya 1/2 hidup = 1/2 mati. Lalu, kalaupun tuduhan terhadap Ahmadiyah tadi diasumsikan logis maka bisa dipastikan termasuk kategori logis tapi tidak rasional. Sebab, premisnya tidak rasional berdasarkan fakta. Ahmadiyah secara historis memiliki andil signifikan dalam penolakan gagasan pendirian negara Israel yang notabene digagas oleh elit-elit Yahudi garis keras.
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra, Khalifah kedua Ahmadiyah dalam kesempatan Konferensi Palestina mengirimkan telegram yang dibacakan dalam bahasa Inggris dan Arab. Beliau bersabda:
“Selamat datang Yang Mulia Amir Faisal dan para delegasi Konferensi Palestina, atas nama pribadi dan Jamaah, sampaikan kepada mereka (para delegasi) bahwa Jamaah Muslim Ahmadiyah sepenuhnya bersama mereka, dan berdoa agar Allah memberikan kesuksesan kepada mereka dan membantu semua Negara Arab dalam upaya kesejahteraan dan memberikan mereka kepemimpinan dunia Muslim – sebagaimana halnya kepemimpinan yang mereka miliki di abad-abad awal Islam.” (Al Fazl, 16 Maret 1939, hal. 2)
Seraya mengutip ayat 22 sampai 26 (basmalah dihitung sebagai ayat pertama) dari Surat Shad, Khalifah kedua Ahmadiyah menyatakan:
“Al-Qur’an Suci telah menyatakan sebuah nubuatan dalam ayat-ayat ini, yang merupakan perumpamaan dan kasyaf Ilahi berkenaan dengan Akhir Zaman. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman bahwa mereka yang termasuk dalam keturunan Daud, atau para pengikutnya (yang merupakan orang Yahudi dan Kristen) akan memiliki 99 persen kekuasaan di dunia, dan sebaliknya, para pengikut Nabi Muhammad saw hanya akan memiliki 1 persen. Kendati demikian, bahkan mereka [Yahudi dan Kristen] akan bersekongkol untuk menduduki 1 persen sisanya [dari umat Islam] juga.
Al-Qur’an menyebutkan kata kifalat. […] Orang-orang Eropa menggunakan istilah, ‘Mandat’ untuk negara-negara yang telah mereka duduki setelah perang baru-baru ini [Perang Dunia II], dan arti dari ‘mandat’ adalah kifalat [otoritas]. Saat ini, kata yang sama digunakan untuk Palestina. Jadi, dalam ayat-ayat ini, telah diceritakan bahwa orang-orang Kristen dan Yahudi akan menuntut dari umat Islam dalam kaitannya dengan Palestina: ‘Serahkanlah ini juga kepada kami’. Sekarang, Presiden [Harry] Truman [dari Amerika Serikat] mengirimkan telegram bahwa orang-orang Yahudi harus diizinkan untuk menetap di Palestina […]. (Al Fazl, 16 Maret 1939, hal. 2)
“Beliau (Khalifah kedua Ahmadiyah) mengajukan pertanyaan terkait mengapa negara-negara seperti Amerika, Australia dan Inggris tidak bersedia mengizinkan orang-orang Yahudi menetap di negara mereka masing-masing, meskipun mereka memiliki wilayah yang luas jika dibandingkan dengan wilayah Palestina.” (Al Fazl, 31 Oktober 1945, hal. 2)
Khalifah Ahmadiyah akhirnya mengajak dunia Islam untuk bersatu:
“Saya percaya bahwa bahkan sekarang pun, jika umat Islam berkumpul untuk persatuan, dan bukannya menekankan perbedaan, maka masa depan Islam tidak akan tetap gelap.” (Al Fazl, 28 Agustus 1946, hal. 3)
Hal yang sama dilakukan oleh Sir Chaudry Zafrullah Khan, Ahmadi terkemuka dalam membela Palestian, seperti dimuat surat kabar harian ternama di India, The Statesman:
“Untuk pertama kalinya, suara Pakistan terdengar dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai topik yang sangat penting di seluruh dunia ketika pemimpin delegasi negara ini, Chaudhry Zafarullah Khan, berpidato di hadapan Komite Palestina PBB di Lake Success pada hari Selasa. Pidato ini merupakan pidato yang merobek-robek permohonan palsu yang diajukan oleh para pendukung pemisahan Palestina.
Chaudhry Zafarullah tidak hanya memanjakan diri dengan retorika ketika ia menggambarkan rencana pemisahan sebagai ‘secara fisik dan geografis adalah sebuah kekejian’, ia melanjutkan untuk membuktikannya dengan argumen-argumen yang tak terbantahkan.” (The Statesman, 8 Oktober 1947)
Terbukti sudah bila premis dalam tuduhan terhadap Ahmadiyah ini secara konteks kesejarahan tidak rasional. Untuk itu, cacatlah logika tuduhan bahwa Ahmadiyah agen Yahudi.
Oleh: Dodi Kurniawan
Referensi:
- Al Jupri, Bicara Matematika. 2007, 22 September. Ternyata “Hidup = Mati”. Diakses tanggal 04/06/2024, https://mathematicse.wordpress.com/2007/09/22/ternyata-hidup-mati/.
- Nasir, Ata-ul-Haye, Al Hakam. 2021, 21 Mei. The Ahmadiyya Khilafat’s call for Muslim unity: The solution to Israel-Palestine issue. Diakses tanggal 04/06/2024, The Ahmadiyya Khilafat’s call for Muslim unity: The solution to Israel-Palestine issue (alhakam.org).
- –, Al Hakam. 2021, 28 Mei. Sir Zafrulla Khan Sahib’s services for the Palestinian cause. Diakses tanggal 04/06/2024, Sir Zafrulla Khan Sahib’s services for the Palestinian cause (alhakam.org).
Sumber Gambar : https://www.newarab.com/analysis/meeting-ahmadis