Dinamika Pluralistik dalam Kacamata Islam

1932

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam kehidupan kemasyarakatannya memiliki de facto yang tidak mungkin elakan, dilupakan apalagi dihilangkan sejak awal mulanya yakni pluralitas atau kemajemukan atau keberaneka-ragaman baik suku-sukunya, agamanya, budayanya, politik, ekonomi, bahasa dan banyak lagi yang membuat Indonesia begitu indah dalam pandangan dunia.

Dalam konteks agama kita ketahui bersama bahwa setiap agama yang telah menginjakan kaki di Indonesia dan diterima sebagai suatu keyakinan mengajarakan hubungan harmonis antara sesama dan terciptanya perdamaian tetapi ajaran keharmonisan dan cita-cita agama yakni menciptakan perdamaian ini hancur karena racun yang menggerogoti hati serta pikiran penganutnya sehingga menggugurkan kedudukan yang disandang agama sebagai simbol perdamaian ‘Agama’ sendiri berasal dari bahasa sansakrit yang terdiri dari dua suku kata yakni “a” dan “gama”, a artinya tidak dan gama artinya kacau/rusak jadi agama secara harfiah dapat dimaknai adalah tidak kacau atau damai maka apabila ditemukan ada suatu agama yang tidak mencerminkan nilai-nilai perdamaian itu tidak pantas disebut agama, sedangkan Islam berasal bahasa arab yang artinya adalah damai atau selamat jadi tidak salah jika penduduk muslim terbesar di dunia adalah Indonesia karena dengan ajarannya mampu menyatukan berbagai pulau, suku, ras, budaya, bahasa dan berbagai atribut lainnya 

Sedikit merenung tentang fenomena yang telah terjadi di Negara kebanggaan kita Indonesia misalnya kerusuhan Ambon, Bom Bali 1 dan Bom Bali 2 yang menyimpan banyak pilu bagi saudara-saudara kita disana, penutupan atau pengeboman beberapa gereja-gereja, penyegelan bahkan penghacuran Masjid-masjid di berbagai tempat di tanah air dan masih banya lagi renteten gesekan dan benturan sesama anak bangsa dan diketahui pemicunya adalah ideology. Sebenarnya letusan fenomena ini terjadi diseluruh belahan dunia tetapi dengan skala yang berbeda-beda, Mengapa terjadi demikian ? jawabannya tentu bukan karena ajaran agama tersebut, hal itu terjadi kecuali ada kekeliruan dalam memahami agamanya.

Islam menggambarkan sangat gamblang mengenai esensi pluralisme yang termuat dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat : 14 “Hai manusia Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” ungkapan kata ‘saling mengenal’ dalam ayat diatas disebut dengan lafaz ta’arofu  yang berasal dari kata ‘arofa’ dalam bhasa arab tidak diperkenan lafaz ‘arofa (mengenal) dipergunakan untuk mengenal sesuatu yang buruk karena kata ‘arofa definisinya adalah mengenal dengan sangat mendalam sesuatu dengan hati yang bersih. Ada ungkapan dalam bahasa arab al-‘abdu ‘arofa rabbahu (seorang hamba telah mengenal Tuhannya), dari kata ‘arofa ini juga banyak diserap kedalam bahasa Indonesia seperti Makrifat, ‘Arif (orang yang bijak), ta’aruf (saling mengenal calon pasangan hidup).

Memang benar dalam Al-Qur’an dengan sangat tegas Allah ta’ala menetapkan bahwa innad-diina ‘indaLlahil-Islam (Al-Imran : 20) yakni sesungguhnya agama yang benar disisi Allah adalah Islam tetapi dalam ayat lain disebutkan bahwa laa ikraha fiid-diin (AL-Baqarah : 257) bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk Islam dan diperkuat pada ayat lakum diinukum waliyadiin Surah (Al-Kafirun : 7) bagi kalian agama kalian bagiku agama ku

Kaidah tafsir menyebutkan bahwa ayat Al-Qur’an tidak bisa tafsirkan sepihak, dalam buku Barakutud-du’a karya Hz Mirza Ghulam Ahmad as menyebutkat kaidah pertama dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah dengan ayat Al-Qur’an yang lain dan ini selaras dengan pernyataan Ibn  Taimiyah (w. 728 H) dalam Muqaddimah fi Ushu Al-Qur’an (Al-Maktabah Asy-Syamsiah) bahwa:
apabila ada orang bertanya, bagaimana cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an ? maka jawabannya adalah, sesungguhnya cara yang paling benar dalam hal ini adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebab jika terdapat ayat majmul (bersifat umum/global) di surah tertentu sesungguhnya ada tafsirnya di tempat lainnya dan tidaklah terda[pat ayat yang ringkas disuatu surah melainkan dijelaskan panjang lebar pada surah yang lainnya”.
Sebagai contoh lain dalam surah (At-Taubah : 5) “kemudian apabila bulan-bulan yang dimuliakan itu telah berlalu maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimanapun kamu menjumpai mereka…” Jika ayat ini di maknai dengan begitu saja maka arti damai yang terkandung dalam Islam, pengutusan Nabi Muhammad saw sebagai Rahmatal-lil’alamin (Al-Anbiya :107) serta suri tauladan yang selam 13 tahun beliau tampilkan menjadi gugur hanay karena umat salah memahami esensi dari suatu ayat.

Dalam zaman milenial ini dimana informasi tersebar begitu banyak dan cepat serta hampir tak terkendalikan umat islam harus mampu menyaring setiap informasi yang masuk karena ini bagian dari perintah Al-Qur’an bahwa “Ketika datang orang yang diduga fasik dengan sebuah kabar pada kalian maka tabayun-lah (klarifikasi)”.

Sebagai pelengkap uraian saya kutipkan pidato Rasulullah saw pada kesempatan Haji perpisahan (Haji Wada’) yang digemakan di padang Arafah tahun 10 hijriah, Beliau saw bersabda :
Wahai sekalian manusia ! sesungguhnya Tuhan mu adalah satu dan bapak mu adalah satu! Ingatlah tidak ada kelebihan pada orang Arab dan tidak ada kelebihan pada orang Ajam (non-arab), tidak pada orang yang kulit merah (putih) atas orang hitam dan tidak pula orang hitam atas orang merah (putih) kecuali dengan ketaqwaan, bukankan aku telah sampaikan ini ?”. (mereka yang hadir menjawab) “Rasulullah telah sampaikan!”.


Oleh: ASH

Sumber Gambar: pixabay.com