Saya tersenyum dan memajukan kepala ke depan sedikit mendongak untuk menghirup udara ditengah keramaian Pecinan Kota Semarang. Respons yang wajar, hari sudah gelap dan perut meronta-ronta ingin minta jatah. Aroma-aroma di udara ini membuat liur melimpah keluar dari kelenjar-kelenjarnya, setiap hirupan saya nikmati dengan nafsu makan yang semakin tinggi. Tapi sayangnya saya harus melanjutkan jalan melewati kios-kios makanan itu, diri semakin lapar tapi apa boleh buat, daging babi kan haram. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli makanan di kios yang hanya menjual seafood. Sambil menunggu sotong bakar dihidangkan, saya teringat cerita perjuangan teman-teman saya yang kesulitan dalam mencari makanan Halal di negara dengan mayoritas non-muslim. Jika ingin “cari aman”, restoran vegan jadi pilihan utama turis muslim di negara tersebut.
Kemudian muncul pertanyaan di kepala saya: mengapa Islam melarang umatnya untuk memakan satu jenis makanan tertentu dan membolehkan memakan jenis makanan lain? Lalu bagaimana posisi veganisme dalam khazanah Islam?
Dalam Al-Qur’an, hukum mengenai makanan selalu berhubungan dengan dua kata, yakni halal dan thayyib. Allahswt bersabda “Hai Manusia, makanlah dari apa yang halal dan thayyib, di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan sesungguhnya dia musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqarah: 169). Halal diartikan sebagai ‘yang diperbolehkan secara syariat’, sedangkan thayyib adalah ‘yang baik’.
Berkaitan dengan makanan halal, Allahswt bersabda dalam surah Al-Baqarah ayat 174: “Sesungguhnya yang Dia haramkan bagi kamu hanya bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa, bukan bermaksud melanggar dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Makanan halal adalah makanan yang tidak termasuk dalam 3 kategori di atas, dan disembelih dengan menyebut Allah terlebih dahulu. Lebih lanjut lagi, Islam juga melarang konsumsi alkohol, zat beracun, dan zat adiktif (narkoba). Tentu menurut ayat tersebut, konsumsi untuk tujuan tertentu (misalnya untuk pengobatan) dan bukan berniat untuk melanggar tidaklah dosa kepadanya[1]. Makanan Halal tidak selalu boleh dikonsumsi, misalnya jika ada peraturan di sebuah negara yang melarang konsumsi hewan tertentu (misalnya karena terancam punah) walaupun secara syariat diperbolehkan, tapi tetap jenis makanan tersebut dikategorikan sebagai makanan yang “tidak diperbolehkan” dikonsumsi1.
Lalu istilah thayyib artinya murni, utuh, dan diperoleh melalui cara-cara yang legal dan etis. Makanan yang diperoleh dengan cara mencuri misalnya, walaupun jenisnya “halal” tapi karena cara memperolehnya salah, makanan tersebut menjadi haram1. Juga dari aspek kondisional makanan, makanan yang sudah basi atau kotor (terkontaminasi) maka menjadi haram. Ada beberapa perbedaan mengenai definisi “thayyib” itu sendiri, Imam Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang lezat dan layak untuk dikonsumsi2. Sedangkan menurut Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya, “thayyib” adalah sesuatu yang baik, tidak membahayakan tubuh dan pikiran[2].
Di dalam Islam, aspek jasmani tidak bisa dipisahkan dengan aspek ruhani. Keduanya saling mempengaruhi dan saling membutuhkan satu sama lain. Dalam surat Al-Baqarah ayat 169 di atas, perintah larangan untuk mengonsumsi makanan-makanan itu disusul dengan larangan terhadap mengikuti setan. Hal tersebut merupakan isyarat yang kuat bahwa perbuatan-perbuatan jasmani (termasuk jenis dan cara kita makan) dapat berpengaruh terhadap keadaan akhlak dan rohani manusia. Penggunaan makanan haram dan tidak thayyib tidak hanya menimbulkan kerugian terhadap kesehatan jasmani tetapi juga merugikan kemampuan akhlak dan merintangi perkembangan rohani individu yang mengonsumsinya.
Mirza Ghulam Ahmad dalam buku Filsafat Ajaran Islam menjelaskan dari aspek bahasa mengenai alasan mengapa daging babi diharamkan. Ia mengatakan bahwa babi adalah hewan yang buruk sudah diisyaratkan dari sebutannya dalam bahasa Arab, yakni paduan kata-kata khinz dan Ara, yang berarti “Aku lihat dia sangat rusak dan buruk”, begitu pula dilihat dari bahasa Hindi. Dan penamaan itu dapat dibuktikan dengan sendirinya apabila kita melihat sifat hewan tersebut yang gemar memakan segalanya -bahkan kotoran dan lumpur sekalipun- dan tidak punya malu.[3] Bahkan secara umum, di seluruh dunia, babi diasosiasikan sebagai simbol dari kerakusan dan keserakahan. Orang boleh berargumen bahwa jika diolah dengan baik dan higienis maka daging babi akan memiliki kualitas yang bagus dan bebas dari cacing pita dan parasit lain. Tetapi perlu diingat bahwa larangan memakan babi dalam Islam lebih kepada filosofi dan potensinya dalam merugikan perkembangan akhlak dan rohani, bukan karena kebersihan dagingnya secara fisik.
Penyebaran penyakit-penyakit pandemic seperti Ebola, SARS, dan yang terbaru: COVID-19 juga diasosiasikan kepada konsumsi atau interaksi antara manusia dan hewan, khususnya kelelawar. Dari daging hewan-hewan liar yang dimakan maupun yang masih hidup di pasar-pasar tradisional Wuhan lah diduga penyebaran COVID-19 dimulai. Lalu berkenaan dengan konsumsi darah dan bangkai sudah jelas memiliki risiko yang sangat tinggi menularkan patogen: bakteri-bakteri atau virus-virus yang dapat membuat kita sakit.
Dalam ilmu piramida ekologi yang kita pelajari sejak SD, semakin tinggi tingkat trofi makhluk hidup maka semakin besar juga akumulasi “racun” karsinogen di dalam dagingnya[4]. Sehingga lebih aman bagi manusia untuk mengonsumsi makhluk hidup dalam tingkat trofi yang rendah, misalnya produsen atau konsumen 1 (herbivora). Dengan alasan kesehatan yang sama inilah banyak orang mulai mengganti pola makan menjadi vegetarian atau vegan.
Sering disebutkan bergantian, sebenarnya vegetarianisme dengan veganisme adalah dua istilah yang berbeda. Vegetarianisme adalah pilihan untuk membatasi jenis makanan yang berbahan dasar hewan, jenisnya beraneka ragam: ada vegetarian yang tidak memakan daging dan lemak hewan darat tetapi masih mau makan ikan, disebut pescatarian; ada yang tidak mau memakan produk penyembelihan hewan tapi masih mau memakan produk hewani yang didapatkan tanpa membunuh hewan seperti produk susu dan telur yang disebut lacto-ovo vegetarian; ada vegetarian yang terkadang masih memakan daging dalam jumlah tertentu (flexitarian); ada juga vegetarian murni yang sama sekali tidak mau memakan segala produk hewan dan turunannya[5]. Sedangkan veganisme adalah pilihan untuk hidup tanpa menggunakan produk hewani. Jika orang-orang vegetarian membatasi diri dari segi makanan saja, orang-orang vegan membatasi penggunaan produk hewani untuk makanan maupun untuk pakaian dan lain sebagainya.
Berbeda dengan daging babi, berkenaan dengan makanan berbahan dasar sayuran tidak ada yang secara jelas dilarang dalam Al-Quran. Namun, berkenaan dengan hewan ternak Surat Al-Mu’minun ayat 22 menjelaskan “Dan sesungguhnya pada hewan ternak berkaki empat pun terdapat pelajaran bagimu. Kami memberimu minum dari apa yang ada di dalam perutnya, dan kamu mendapat banyak lagi manfaat di dalamnya, dan sebagian dagingnya kamu makan”. Menunjukkan bahwa dari produk-produk hewan banyak manfaat yang bisa diambil, juga sebagai perenungan terhadap kekuasaan Allahswt. Tidak ada larangan dalam Islam untuk menjalani hidup vegetarian atau veganisme, memakan daging juga bukan merupakan bagian dari ritual ibadah dalam Islam, dan belakangan ini semakin banyak muslim yang menjalani hidup sebagai vegan.
Alasan seseorang menjadi vegetarian atau vegan setidaknya ada 3 banyak hal. Saya akan jabarkan singkat sebagai berikut:
- Karena makan sayur lebih sehat daripada makan daging
Pernyataan tersebut ada benarnya, konsumsi sayur yang rutin dapat memperlancar sistem pencernaan kita. Ditambah lagi, konsumsi daging yang mengandung protein dapat meningkatkan risiko adanya peradangan di usus, bahkan meningkatkan risiko kanker. Banyak juga metode-metode diet yang berfokus pada gaya hidup vegetarian. Namun, menurut penelitian yang terbaru, mengurangi porsi daging merah dan daging olahan dalam menu makan kita tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan (tidak membuat kita lebih sehat). Lagipula ada beberapa nutrisi yang bisa didapatkan dengan mudah pada makanan berbahan dasar daging.
- Konflik etik, membunuh makhluk hidup lain itu tidak bermoral
Salah satu argumen yang digunakan oleh pihak pro-veganisme, manusia membunuh milyaran hewan ternak untuk dimakan. Kemunculan filsafat moral untuk hewan menempatkan posisi manusia bukan sebagai makhluk superior yang dapat mengeksploitasi hewan lain, dan sudah semestinya hewan dihormati layaknya makhluk bernyawa lainnya.
- Go Green! Demi masa depan Bumi yang lebih cerah
Alasan terakhir dan merupakan argumen yang paling kuat. Industri pangan dan peternakan adalah industri yang tidak berkelanjutan (non-sustainable). Peternakan sapi menyebabkan penggundulan hutan untuk dijadikan lapangan rumput (pastur), membutuhkan air dalam volume yang sangat besar, dan membutuhkan bahan pakan dari tanaman yang banyak. Lalu kotoran sapi menghasilkan gas metana yang merupakan gas rumah kaca yang jauh lebih berbahaya dibandingkan CO2. Industri besar yang menempatkan banyak hewan dalam fasilitas (kandang) yang sempit juga menyebabkan polusi tanah dan air yang juga berdampak pada kesehatan lingkungan.[6]
Gaya hidup vegetarian dapat kita temui sebagai salah satu tradisi ibadah di agama-agama lain. Di dalam Islam sendiri, beberapa aliran sufisme menjalani kehidupan sehari-hari dengan hanya memakan sayuran[7]. Tetapi tidaklah dibenarkan mengharamkan sesuatu yang halal, seperti yang difirmankan dalam surat Al-Maidah ayat 88 yakni: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa pun yang baik yang telah Allah halalkan bagimu, dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas”.
Islam adalah agama yang mengutamakan moderasi, jangan melakukan suatu hal berlebihan, atau terlalu ekstrim. Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 32 lebih jauh lagi menyatakan “…dan makanlah serta minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan”. Yakni makan jugalah daging dan makanlah juga sayuran dan makanan-makanan yang lain, akan tetapi jangan melampaui batas agar jangan timbul pengaruh buruk pada keadaan akhlak3. Rasulullahsaw menjalani hidup sederhana yang oleh sebagian orang dianggap sebagai hidup semi-vegetarian. Beliau menyukai tsarid, sup daging kambing dengan sayur yang dimakan bersama roti barley. Tapi beliau saw hanya memakan daging pada waktu-waktu tertentu saja, tidak setiap hari[8]. Beliau juga mencontohkan berpuasa sunnah secara rutin dan berbuka dengan buah kurma, betapa indahnya kesederhanaan dan keseimbangan gaya hidup sesuai filsafat Islam.
Dari segi moral, Islam memperlakukan hewan sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan yang juga selalu berzikir kepada-Nya. Memberi makan dan memperlakukan hewan dengan baik juga merupakan sebuah amal yang berbuah pahala. Dinarasikan oleh Abu Hurairahra: “Seseorang sedang melakukan perjalanan merasa sangat kehausan dan ketika ia menemukan sumur, dia masuk ke dalamnya dan minum darinya. Ketika dia naik keluar dari sumur tersebut dia melihat seekor anjing yang kehausan. ‘Hewan ini menderita haus yang luar biasa sebagaimana saya tadi merasa kehausan’ kata orang itu. Jadi dia kembali masuk ke dalam sumur, mengisi sepatunya dengan air, lalu memanjat kembali sumur itu dan memberikan sepatunya yang berisi air kepada anjing itu. Allah melihat tindakan baik itu dan menghapuskan dosa-dosa orang itu.” [Bukhari]. [9]
Dalam tata cara penyembelihan pun Islam menekankan untuk tidak membuat hewan stress dan harus dilakukan secepat mungkin jangan sampai hewan tersebut menderita. Ini adalah bukti bahwa Islam memerhatikan moralitas, dan pengorbanan atau penyembelihan selayaknya dilakukan dengan tujuan untuk dikonsumsi atau dipersembahkan untuk Allah semata. Seluruh daging dan bagian tubuh hewan itu selayaknya dapat memberikan manfaat, jangan ada yang terbuang percuma apalagi membunuh hewan untuk rekreasi saja (killing for sport).
Berkaitan dengan industri pangan besar, terkadang hewan-hewan itu dibesarkan dalam kondisi yang kurang etik, disuntik dengan antibiotik dan steroid supaya hewan ternak jadi cepat gemuk. Hal itu pada akhirnya akan menimbulkan efek kesehatan juga bagi manusia yang mengonsumsinya. Dan seperti yang telah saya jelaskan di atas, industri peternakan besar menghasilkan dampak lingkungan yang luar biasa yang semakin memperparah pemanasan global dan krisis iklim. Seperti yang difirmankan dalam surah Al-Baqarah ayat 31, “Dan ingatlah ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di Bumi….”. Manusia sebagai khalifah di muka Bumi ini sudah semestinya mengambil langkah yang terbaik demi keberlangsungan alam dan planet ini.
Sotong bakar saya tiba di atas meja dengan aroma yang sangat menggiurkan. Dalam Filsafat Islam, makanan yang kita makan sangat berpengaruh kepada kondisi akhlak dan spiritual kita, itulah mengapa ada istilah halal dan thayyib. Tidak lama hidangan saya habis terlahap. Islam mengajarkan kita untuk hidup seimbang, sederhana, penuh kesadaran dan menghindari gaya hidup konsumtif. Saya niatkan setelah pulang nanti untuk berhenti di supermarket untuk beli salad. Pada akhirnya semua kembali pada pilihan masing-masing. Saya menengok ke kanan dan melihat orang di sebelah saya sedang makan dengan lahapnya: tumis babi sayur asin, liur saya keluar lagi.
*Semua ayat Al-Qur’an yang saya cantumkan di artikel ini ditulis dengan bismillahi-rahmani-rahim sebagai ayat pertama setiap suratnya. Dan Tafsirnya di ambil dari Tafsir Saghir Karya Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
Oleh: Rafif Adianto Abdul Wahab
Sumber:
[1] What Can A Muslim Eat? Alislam.org. Frequently Asked Questions. https://www.alislam.org/question/what-can-muslim-eat/
[2] Makna Halalan Thayyiban dalam Al-Quran. Nu Online. Dibuat pada 26 Oktober 2019. [Online] diakses pada 9 April 2020. https://islam.nu.or.id/post/read/112683/makna–halalan-thayyiban–dalam-al-qur-an
[3] Ahmad, Mirza Ghulam. Filsafat Ajaran Islam. 2018. Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Mukhlis Ilyas. Neratja Press. Jakarta. Diterbitkan pertama kali di India, 1905.
[4] Carson, Rachel. Silent Spring. Boston : Houghton Mifflin, 2002, c1962.
[5] Vegan vs Vegetarian – What’s the Difference? Healthline.com [Online] diakses pada 9 April 2020. https://www.healthline.com/nutrition/vegan-vs-vegetarian
[6] What is the True Cost of Eating Meat? The Briefing – theguardian.com. Dibuat pada 7 Mei 2018 [Online] diakses pada 8 April 2020. https://www.theguardian.com/news/2018/may/07/true-cost-of-eating-meat-environment-health-animal-welfare
[7] Walter. Peter Fritz. Vegetarianism in Islam. 2016. Medium.com.[Online] Diakses pada 8 April 2020. https://medium.com/lifelong-benefits-of-a-plant-based-diet/vegetarianism-in-islam-5bb0a5dfe08f
[8] Bakar, Faima. 2018. Does Veganism go against Muslim belief? Metro [Online] Diakses pada 8 April 2020. https://metro.co.uk/2018/02/15/does-veganism-go-against-muslim-beliefs-7312122/
[9] According to Islam How Should Animals be Treated? Contemporary Issues. Alislam.org [Online] Diakses pada 8 April 2020. https://www.alislam.org/question/islam-how-animals-be-treated/
Sumber Gambar:
- DosenBiologi.com
- Sandy Millar on Unplash.com