Malam Jumat adalah Sunnah Rasul, Benarkah?

3154

Malam Jumat dipercaya oleh banyak orang sebagai malam spesial ketika Rasulullah saw biasa berhubungan badan (jima) dengan istri beliau. Sehingga istilah ‘malam Jumat’ terkenal sebagai malam sunah Rasul dalam berhubungan badan. Apakah pernyataan tersebut benar? Apakah istilah ini dikenal dalam ajaran Islam?

Dikalangan umat Islam tersebar ‘suatu hadis’ berikut ini yang mendasari kepercayaan ‘malam Jumat’:

Barangsiapa melakukan hubungan suami istri di malam Jumat (kamis malam) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi.” Dalam hadis yang lain disebutkan sama dengan membunuh 1000 atau 7000 yahudi[1].

Lalu apakah hadis tersebut benar?

Dari semua sumber yang penulis baca tidak satu pun dari mereka menyertakan referensi hadis diatas. Semuanya menyatakannya sebagai hadis palsu atau diada-adakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Dalam ilmu dirayat kita bisa menyelidiki matan (kandungan,berita,isi) hadis melalui logika. Apakah logika bisa menerimanya atau tidak. Bila kita terapkan logika pada hadis diatas maka isi dari hadis di atas sangat diragukan kebenarannya. Apakah Islam mengajarkan bahwa membunuh orang lain khusunya umat Yahudi adalah berpahala? Bukankah membunuh adalah dosa yang besar?

Adapun peperangan Rasulullah saw dengan kalangan Yahudi adalah untuk mempertahankan diri dan melindungi kota Madinah serta untuk menjaga perdamaian dan kebebasan beragama di Madinah termasuk menjaga jiwa raga dan hak-hak orang Yahudi di Madinah. Tak ada alasan dan dalil bahwa membunuh tanpa dasar itu berpahala.

Adapun dalil lainnya yang mendasari istilah “malam Jumat, sunah Rasul” adalah:

Dari Aus bin Abi Aus ra, bahwa Nabi saw bersabda,

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ، وَغَدَا وَابْتَكَرَ، وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ، وَدَنَا مِنَ الْإِمَامِ، وَأَنْصَتَ وَلَمْ يَلْغُ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ

Barang siapa yang mandi pada hari Jumat dan memandikan, dia berangkat pagi-pagi dan mendapatkan awal khotbah, dia berjalan dan tidak berkendaraan, dia mendekat ke imam, diam, serta berkonsentrasi mendengarkan khotbah maka setiap langkah kakinya dinilai sebagaimana pahala amalnya setahun.” (H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Imam An-Nawawi dan Syekh Al-Albani)

Ma’ruf Khozin salah satu anggota Aswaja NU Center PWNU Jatim berpendapat bahwa hadis di atas mengisyarahkan untuk jima pada malam Jumat.[2] Pendapat lain justru mengatakan bahwa jima yang diisyarahkan pada hadis di atas menunjukkan waktu pagi sebelum berangkat shalat Jumat.

Sebagaimana disebutkan dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, bahwa ada sebagian ulama yang mengartikan kata “memandikan” dengan ‘menggauli istri’. Karena ketika seorang suami melakukan hubungan intim dengan istri, berarti, dia membuat istrinya nanti mandi (junub). Dengan melakukan hal ini sebelum berangkat shalat Jumat, seorang suami akan lebih bisa menekan syahwatnya dan menahan pandangannya ketika menuju masjid. (Aunul Ma’bud,2:8).

Bila kita perhatikan, hadis di atas tidak menunjukkan secara spesifik hubungan intim pada malam Jumat. Justru hadis di atas lebih menunjukkan waktu pagi (sebelum shalat Jumat) dan memang konteks hadis tersebut adalah situasi sebelum berangkat shalat Jumat. Jadi bila pengertian “memandikan” adalah “menggauli istri” dianggap benar maka waktu pagi lebih bisa diterima.

Namun tetap pemahaman ini tidak sepenuhnya meyakinkan karena masih berupa tafsiran para ulama bukan pesan verbal atau kata-kata Rasul sendiri. Terlebih kita sebenarnya bisa melakukan mandi junub meski tidak berhubungan badan terlebih dahulu. Artinya tidaklah kuat menyatakan bahwa apa yang Rasulullah saw maksudkan adalah mandi junub yang sebelumnya didahului jima. Bisa saja si suami menyuruh istrinya juga mandi junub dengan sengaja (bukan karena telah berhubungan badan). Sehingga tak ada kaidah jima sebagai sunah sebelum shalat Jumat apalagi pada malam Jumat.

Memang ada anjuran untuk melakukan jima pada Jumat pagi tapi masih perlu kita kaji:

Diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:

أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يُجَامِعَ أَهْلَهُ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ فَإِنَّ لَهُ أَجْرَيْنِ أَجْرُ غُسْلِهِ، وَأَجْرُ غُسْلِ امْرَأَتِهِ

Tidak mampukah kalian menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at ?, Karena sesungguhnya menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala: pahala dia mandi (mandi junub sekaligus mandi Jum’at), dan pahala “memandikan/menyebabkan” istrinya mandi. (Imam al Baihaqi meragukan riwayat tersebut karena ada perawi bernama Baqiyyah yang memang harus diteliti lagi. Hadis dan keterangan ini tercantum dalam Syu’abul Imam 4/409).

Inilah hadis yang memang menunjukkan kalau hari Jumat adalah hari dimana dianjurkan untuk berhubungan badan. Namun sekali lagi, hadis ini tidak menunjukkan spesifik malam Jumat bahkan diyakini dalam konteks pagi hari sebelum shalat Jumat karena pahala mandi yang dimaksud adalah mandi junub sebelum Jumat. Suami mandi mendapat pahala dan karena ia membuat istri pun jadi mandi junub maka ia dapat pahala lagi.

Mandi junub di sini berpahala karena demi menyambut shalat Jumat yang sakral. Sehingga sekalipun kita menganggap hadis ini benar tetap saja waktu yang diisyarahkan olehnya adalah pagi hari bukan malam Jumat.

Terlepas dari pemaparan diatas, Imam al Baihaqi selaku perawi pun meragukan riwayat ini karena salah satu perawi hadis tersebut yakni Baqiyyah yang masih perlu diteliti keadaannya. Artinya hadis ini tidak terlalu kuat untuk dijadikan dalil dalam menyatakan adanya waktu yang diprioritaskan Rasul untuk berhubungan badan. Alhasil anjuran jima pada Jumat pagi masih perlu dikaji karena tidak memiliki dasar yang kuat.

Ada hadis yang diyakini jauh lebih kuat karena diriwayatkan dari dua kitab hadis paling shahih serta menjadi rujukan utama untuk mencari hadis-hadis shahih yakni Shahih Bukhari dan Shahih Muslim:

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw. bersabda:

Barangsiapa mandi di hari Jumat seperti mandi janabah (mandi wajib/junub), kemudian datang di waktu yang pertama (mendatangi masjid untuk salat Jumat), ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima, maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan zikir (khutbah).”(HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850)

Hadis tersebut sebenarnya menunjukkan keutamaan shalat Jumat. Salah satu keutamaannya adalah kita dianjurkan untuk mandi junub (ghuslal janabah) sebelum shalat. Disini tidak ada kata “memandikan/membuat istri mandi” seperti yang tercantum pada hadis sebelumnya. Dengan begitu jelas Rasulullah saw hanya menganjurkan mandi junub saja. Sehingga dalil yang kuat justru hanya mendukung mandi junub saja tanpa ada kaitannya dengan jima terlebih dahulu.

Coba kita perhatikan pernyataan Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini tentang waktu melakukan jima yang menjadi sunah Rasul:

Di dalam sunah tidak ada anjuran berhubungan seksual suami-istri di malam-malam tertentu, antara lain malam Senin atau malam Jumat. Tetapi ada segelintir ulama menyatakan anjuran hubungan seksual di malam Jumat” (Syekh Az-Zuhayli, Wahbah.1985.Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh. cetakan II Juz 3. Beirut: Darul Fikr [hlm. 556])

Kesimpulannya adalah tidak kita dapati sunah dan hadis Rasul yang memprioritaskan untuk jima pada malam Jumat. Adapun yang memiliki dalil justru jima pada Jumat pagi namun tetap tidak bisa dipastikan mengingat hanya berupa tafsiran para ulama dan bukan kata-kata Rasul sendiri. Sedangkan dalil yang menganjurkan untuk jima pada Jumat pagi pun diragukan oleh perawinya sendiri.

Hal yang lebih meyakinkan adalah berupa mandi junub saja sebelum shalat Jumat karena keterangan ini datang dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang jauh lebih terpercaya. Dengan demikian hubungan badan suami-istri boleh dilakukan kapan saja tanpa mengistimewakan malam atau waktu-waktu tertentu. Maka istilah “malam Jumat adalah sunah Rasul” belum tentu benar adanya karena tidak didasari dalil yang jelas dan kuat.


Oleh: Ammar Ahmad

Sumber
[1] http://www.panjimas.com/kajian/2014/11/06/hubungan-suami-istri-disunnahkan-pada-malam-jumat/ yang diakses tanggal 20 September 18
[2] http://www.hujjahnu.com/2017/10/sunnah-rasul-di-malam-jumat-bagi-suami.html yang diakses pada 20 September 18

Sumber Gambar: islam.nu.or.id