Pada 30 Juli 2020, Tirto.id menurunkan liputan mengenai kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di beberapa pesantren [1]. Kasus demi kasus pelecehan seksual yang terjadi di pusat pendidikan berbasis agama, mendengarnya saja sudah melelahkan. Terlebih lagi, ia membangunkan kekhawatiran, terutama bagi para orangtua.
Beberapa pertanyaan kemudian menghampiri kita, mengapa seseorang yang dianggap paham agama, justru menjadi orang yang bisa melakukan pelecehan atau kekerasan seksual? Bagaimana kita bisa menghentikan kasus-kasus pelecehan seksual semacam ini agar tidak terjadi di masa depan pada anak-anak kita?
Sejatinya, pelecehan atau kekerasan seksual terjadi, salah satunya karena tidak adanya kendali dari pelaku pelecehan seksual terhadap nafsunya. Mengendalikan hawa nafsu memang tidak mudah, karena itulah mengendalikannya dikatakan sebagai jihad akbar. Islam sendiri tidak mengajarkan manusia untuk menghilangkan hawa nafsunya, karena sesungguhnya hawa nafsu ini potensi yang bisa mendatangkan manfaat. Akan tetapi bila tidak dikendalikan, nafsu ini justru akan mendatangkan musibah. Karena itu salah satu cara mengendalikan nafsu adalah dengan memelihara kesucian diri.
Dalam Al-Qur’an jelas tertulis bahwa perintah untuk memelihara kesucian terlebih dulu ditujukan kepada kaum lelaki dengan menundukkan pandangannya. Dalam Surat An-Nur 24: 31 Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki, mereka hendaklah menundukkan mata mereka dan memelihara aurat mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya, Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Dijelaskan dalam tafsirnya, bahwa mata adalah pintu masuk semua pikiran jahat ke dalam hati manusia. Oleh karena itulah mengapa manusia, laki-laki terlebih dahulu, diharuskan menundukkan pandangannya, mengendalikan anggota tubuhnya tersebut, untuk menghalangi pemikiran jahat yang tak pantas masuk dan menggerogoti hati.
Barulah setelah laki-laki yang mendapat perintah untuk menundukkan mata dan memelihara auratnya, perintah selanjutnya jatuh kepada perempuan, dalam ayat selanjutnya, ayat 32: “Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin wanita, bahwa mereka hendaknya menundukkan mata mereka dan memelihara aurat mereka, dan janganlah mereka menampakkan kecantikan mereka, kecuali apa yang dengan sendirinya nampak darinya, dan mereka mengenakan kudungan mereka hingga menutupi dada mereka, ….”
Dari sini bisa disimpulkan bahwa perintah untuk menundukkan pandangan, untuk memelihara aurat, untuk menjaga kesucian dan batasan, adalah kewajiban laki-laki dan perempuan. Sebelum menuntut perempuan untuk menutup auratnya, laki-laki-lah yang diperintahkan lebih dulu untuk menundukkan pandangannya.
Hazrat Ghulam Ahmad as. sendiri menuliskan beberapa tuntunan untuk memelihara kesucian bagi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Beliau as. menuliskan kembali ayat 31 di Surat An-Nur 24 yang sebelumnya sudah ditulis di atas, dengan lebih rinci apa dan bagaimana menerapkan ‘menundukkan mata’.
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki agar mereka menahan pandangan mata mereka dari memandang perempuan-perempuan yang bukan muhrim dan janganlah mereka memandang dengan cara mencolok kepada perempuan-perempuan yang dapat membangkitkan syahwat, dan pada keadaan serupa itu hendaklah membiasakan memandang mereka dengan pandangan redup, dan menjaga kemaluan mereka dengan segala cara yang mungkin. Begitupula hendaknya memelihara telinga mereka dari perempuan-perempuan yang bukan muhrim, yaitu janganlah mereka mendengarkan nyanyian dan suara merdu perempuan-perempuan lain. Janganlah mendengarkan cerita-cerita tentang keelokan perempuan-perempuan. Cara demikian merupakan yang terbaik untuk memelihara kesucian mata dan kalbu[2].”
“Begitu juga katakan kepada perempuan-perempuan mukmin supaya mereka menahan pandangan mereka dari laki-laki yang bukan muhrim. Dan begitu pula hendaknya memelihara telinga mereka dari yang bukan muhrim, yaitu jangan mendengarkan suara yang dapat membangkitkan syahwat, dan tutuplah aurat dan jangan menampakkan bagian keindahan mereka kepada yang bukan muhrim. Dan kenakanlah kain kudungan sedemikian rupa sehingga menutup kepala sampai ke dadanya, yakni kedua daun telinga, kepala, dan kedua belah pelipis tertutup kudungan semuanya. Dan janganlah menghentak-hentakkan kedua kakinya ke tanah seperti para penari. Inilah upaya yang dengan mengikutinya akan menyelamatkan dari ketergelinciran[2].”
Lebih lanjut, beliau as. menjelaskan, ” Dan cara kedua untuk menyelamatkan diri ialah dengan kembali kepada Allah dan memanjatkan doa kepada Dia, supaya ia diselamatkan dari tergelincir dan keterpelesetan[3].”
Kalimat “Janganlah mendekati zina” juga diperjelas oleh Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. dengan menyatakan: “Janganlah mendekati zina, yaitu hindarilah pertemuan yang karenanya di dalam hati dapat timbul pikiran ke arah itu.
Dan janganlah menempuh jalan-jalan yang dengan melaluinya dikhawatirkan timbul dosa tersebut[3].”
Kalimat “Jangan mendekati zina” berarti bukan hanya dengan tidak melakukan segala aktivitas yang bisa mengarahkan manusia untuk berbuat zina, tetapi juga dengan menghindari/tidak mengadakan pertemuan-pertemuan pribadi antara laki-laki dan perempuan bukan muhrim yang akan membimbing mereka menuju perbuatan dosa tersebut. Segala jalan yang apabila dilakukan/dilalui akan timbul dosa tersebut, harus dihindari bagaimanapun caranya.
Dalam Al-Qur’an pun dijelaskan bahwa apabila belum mampu menikah, seseorang bisa melakukan puasa atau mengurangi makan seperti yang tercantum dalam Surah Bani Israil 17: 33. Atau juga melakukan pekerjaan yang melelahkan tubuh dan pikiran sehingga menghindarkannya dari pemikiran kotor seperti yang tercantum dalam Surah An-Nur 24: 34.
Menundukkan pandangan menjadi salah satu ajaran utama oleh Islam, yang mampu menutup segala jalan yang mengarah kepada pikiran kotor. Ia mampu menutup jalan terbangunnya nafsu sehingga mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan tak pantas.
Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. menegaskan, bahwa syahwat itu sangat berbahaya apabila ia diberi kesempatan sedikit saja, ia bisa menggelincirkan manusia. Beliau as. menyatakan: “…ada satu hal yang patut diingat, yaitu dikarenakan keadaan thabi’i (alami) manusia –yang merupakan sumber nafsu syahwat, yang tanpa suatu perubahan sempurna manusia tidak dapat menghindarkan diri darinya– dengan menemukan suasana dan kesempatan maka dorongan-dorongan syahwatnya tidak akan tinggal diam. Atau, katakanlah akan terjerumus ke dalam bahaya yang besar[4].”
Karena manusia memiliki nafsu sebagai keadaan alaminya, Allah Ta’ala tidak mengajarkan kepada manusia untuk boleh memandang yang bukan muhrim asalkan dengan pandangan suci. Kita juga tidak diajarkan untuk boleh mendengarkan suara-suara dan cerita-cerita tentang yang bukan muhrim asal kita mendengarkannya dengan pikiran yang bersih.
Tetapi manusia justru ditekankan berkali-kali untuk tidak memandang yang bukan muhrim dan keindahan-keindahan mereka, baik dengan pandangan yang suci maupun dengan pandangan birahi. Kita pun dilarang untuk mendengarkan suara-suara merdu yang bukan muhrim serta kisah-kisah kecantikan mereka, baik itu dengan pikiran yang suci maupun pikiran birahi.
Karena ketika manusia diberikan kelonggaran sedikit saja perihal pengendalian nafsu ini, maka ia akan mudah sekali terpeleset jauh sehingga bisa melakukan perbuatan tidak pantas. Sebagaimana Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. berkata, “Sebab pasti suatu waktu pandangan yang tanpa kendali kan menggelincirkan[4].”
Di akhir, Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. menjelaskan mengenai ghadhdhu bashar. Hz. Mirza Ghulam Ahmad as. selalu menerapkan ghadhdhu bashar, dengan menyipitkan matanya sampai terlihat seperti setengah mengantuk. Hal ini adalah contoh sikap menundukkan pandangan yang diterapkan oleh beliau as.
Beliau as. pun menyampaikan bahwa ghadhdhu bashar adalah “…sikap menghindarkan diri dengan memandang secara redup dan melihat benda-benda yang dibenarkan untuk dipandang….[5]” Beliau as. menyatakan bahwa bagi orang bertakwa yang ingin terus menjaga hatinya agar tetap suci, “hendaknya ia jangan melayangkan pandangannya dengan liar kesana kemari seperti binatang-binatang, melainkan wajib baginya menerapkan kebiasaan ghadhdhu bashar[5].”
Potensi-potensi nafsu yang memang sudah tertanam di dalam diri manusia bukan untuk dihilangkan, tetapi untuk dikendalikan. Karena di sisi lain, potensi nafsu ini dibutuhkan untuk menghasilkan keturunan. Akan tetapi kalau disalahgunakan, maka ia akan menjadi bencana. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah pengendalian, dan menggunakannya pada satu keadaan yang layak dan pantas. Itulah yang dinamakan akhlak dan kondisi-kondisi semacam itulah yang membuat kita dapat meraih pahala.
Dan lebih besar lagi, ajaran untuk menundukkan pandangan ini juga tidak saja mampu mengantarkan manusia untuk lebih dekat dengan Allah Ta’ala, secara sederhana ia mampu menjadi jalan menjadikan manusia beradab dan tak tergelincir untuk melakukan perbuatan keji semacam pelecehan seksual. Sehingga penting kiranya untuk mengajarkan hal ini, demi terciptanya manusia-manusia yang sadar untuk tidak pernah terpikir melakukan kekerasan seksual kepada siapapun.
Penulis: Lisa Aviatun Nahar
Referensi:
[1] https://tirto.id/kasus-kekerasan-seksual-di-pesantren-tekanan-publik-tak-tuntas-fUqk
[2] Filsafat Ajaran Islam, cetakan 2016, hlm 47-48
[3] Filsafat Ajaran Islam, cetakan 2016, hlm 49
[4] Filsafat Ajaran Islam, cetakan 2016, hlm 51
[5] Filsafat Ajaran Islam, cetakan 2016, hlm 52