Mendengar Mereka Yang Ragu Dan Enggan Divaksin

1088
FILE PHOTO: A woman holds a small bottle labelled with a "Coronavirus COVID-19 Vaccine" sticker and a medical syringe in this illustration taken October 30, 2020. REUTERS/Dado Ruvic

Tahun lalu di depan tempat vaksin saya ada beberapa orang melakukan demo dengan pengeras suara dan berseru kami tidak mau di vaksin karena ini adalah kebebasan kami. Kami tidak mau ‘di atur’ pemerintah. Mungkin di Indonesia tidak ada sekelompok orang yang melakukan protes aksi damai ini tapi ada kelompok yang ragu di vaksin dan tidak mau di vaksin dengan seribu alasannya. Menghadapi kelompok ini pasti kita bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran mereka sehingga enggan atau ragu di vaksin?

            Mendengar argumen menolak di vaksin membuat kita kesal dan kta akan mulai menghujat mereka. Contohnya dalam pikiran, kita bilang: “gua doain tuh orang positif covid biar dia ngerasain sakitnya sekalian!” atau “kenapa sih kepala dia lebih keras dari batu!” Kita para pendukung vaksin tidak bisa merubah pikiran mereka namun yang bisa kita lakukan adalah careful listening atau mendengar pendapat mereka dengan seksama dan perlahan. Jangan langsung mematahkan pendapat mereka atau bahkan menghujatnya.

            Apalagi jika mereka yang ragu dan enggan di vaksin adalah tetangga kita. Sebagai umat Muslim, saya selalu berusaha mengaplikasikan ajaran Islam dalam perlakukan kepada tetangga. Mirza Masroor Ahmad, Khalifah Jemaat Ahmadiyah menjelaskan ”Islam telah menjelaskan secara gamblang kepada umat Islam bahwa tetangga mereka memiliki hak yang besar atas mereka. Sama seperti halnya Al-Qur’an telah menetapkan hak-hak orang tua atas anak-anak mereka, dengan cara yang sama Islam juga menetapkan bahwa tetangga memiliki banyak hak.Umat Islam telah diajarkan untuk mencintai, melindungi, dan menghormati tetangga mereka.”

            Hal pertama ketika mendengar orang tidak mau atau ragu di vaksin adalah kita bisa mengatakan : aku ngerti kok sama alasan kamu nggak mau di vaksin ? memang apa aja yang pernah kamu dengar tentang bahaya vaksin? Terus menurut kamu, gimana caranya supaya pandemi ini cepat berakhir? Dengan kalimat seperti ini yang kita lakukan adalah menghargai dan mengakui pendapat mereka. Mereka akan lebih merasa nyaman dengan kita berbeda kalau para pendukung vaksin bilang seperti ini: kamu tau nggak covid itu udah mengambil banyak nyawa orang? Masa kamu gak peduli sama sesama manusia sih? Kalimat seperti ini terkesan menghakimi dan tidak nyaman.

            Kunci dari berdialog dengan mereka yang berpikiran berbeda dengan kita adalah mendengar dengan sabar, coba pahami mengapa mereka memiliki pikiran atau pendapat kuat. Ini sulit dan kita harus sabar juga mengubur ego kita, pikiran kita bahwa kita yang selalu benar.

            Hal kedua adalah berpikir optimis bahwa sewaktu-waktu orang yang enggan di vaksin pun bisa berubah pikiran. Kita tidak akan pernah bisa merubah pikiran seseorang tapi mungkin kita bisa membuat mereka sedikit berpikir. Mungkin mereka tidak akan setuju tapi mungkin mereka bisa mempertimbangkan cerita miris akibat tidak mau di vaksin karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan untuk bahagia melihat ketika orang terdekatnya kesakitan. Ada kisah tentang seorang penolak vaksin yang berubah pikiran setelah masuk IGD karena positif virus corona. Ia menyesal dan akhirnya malah berubah pikiran untuk mempromosikan betapa pentingnya vaksin. Berpikir optimis dan tidak lelah mengingatkan mereka dengan cara lemah lembut adalah cara efektif juga karena manusia tidak bisa merubah perasaan atau pendapat seseorang, hanya orang itulah yang dapat merubah pikirannya sendiri.

            Cara ketiga, sentuh hati mereka cerita-cerita orang yang asalnya enggan di vaksin namun akhirnya berubah pikiran karena mereka ingin melindungi orang terdekat. Sebagian besar dari mereka yang ragu dan penolak vaksin pasti akan sedih jika kehilangan keluarga atau kerabat dan keluarganya sakit karena virus corona.

             Cerita-cerita yang berunsur humanity (kemanusiaan) ini bisa kita pasang di status Instagram, WhatsApp di waktu yang tepat misalnya jam 6 atau 7 malam ketika orang sudah tidak bekerja lagi karena kalau kita pasang cerita ini di waktu kerja, kemungkinan besar hanya akan dibaca begitu saja, tidak dengan seksama. Jangan pasang status tentang cerita itu setiap hari, mungkin seminggu sekali dengan hari berbeda. Mungkin satu minggu hari senin, minggu kedua hari rabu, agar tidak terkesan menggangu. Semua strategi harus dilakukan dengan sabar dan kepekaan.

            “Kalau kamu memiliki orang-orang yang kamu cintai, sayangi dan kamu tau mereka betul-betul mencintai dan menyayangi kamu, kamu tau mereka begitu berarti bagi kamu, segeralah di vaksin.” Itu adalah sepenggal kalimat dari seorang nenek di Amerika Serikat yang tadinya beliau itu penolak vaksin namun beliau dibawa ke unit gawat darurat karena terkena covid-19 dan hal itulah yang membuat beliau berubah pikiran. Jadi, bahasa cinta bisa juga merubah seseorang walau orang tersebut harus merasakan pahitnya terkena corona virus, namun sisi baiknya, nenek tersebut malah mengajak orang-orang untuk di vaksin karena nenek tersebut menggunakan bahasa cinta yang dengan kata lain, kalau kamu sayang sama keluarga dan teman-teman kamu, di vaksin yuk!

            Pada akhirnya ketika kita para pendukung vaksin mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak menghujat mereka yang tidak mau atau masih ragu untuk di vaksin, kita menggunakan ‘suara’. Suara dalam arti kata menghargai dan mendengarkan mereka yang mempunyai pendapat berbeda dari kita. Itu sulit sekali karena kita harus mengubur ego kita, bahwa kita merasa selalu benar dan terlalu cepat menghakimi mereka tidak akan pernah berubah.

            Di masa peliknya pandemi ini, mendengarkan dan menghargai adalah hal yang sulit dilakukan tetapi semuanya kembali lagi pada hati nurani kita. Seperti yang Rumi katakan, “there is a voice that doesn’t use words. Listen.” “Ada suara yang tidak menggunakan kata-kata. Mendengar.” Dengarkanlah mereka tanpa kata-kata. Dengarkanlah dengan hati.


Penulis : Khalida Jamilah

Sumber:

1. https://www.nytimes.com/2021/01/31/opinion/change-someones-mind.html

2. https://www.motherjones.com/environment/2014/03/vaccine-denial-psychology-backfire-effect/

3. https://www.nbcwashington.com/news/coronavirus/coronavirus-in-maryland/former-anti-vaxxer-urges-people-to-get-covid-19-vaccine/2726914/

4. https://ahmadiyah.id/masjid-yang-baik-tetangga-yang-baik.html