Tulisan ini mencoba mengulas pandangan kritis seorang Pemimipin Jemaat Muslim Ahmadiyah Internasional, Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih Ke-2, dan beberapa tokoh muslim Ahmadi terhadap sebuah sistem ekonomi liberalistik yang digagas oleh seorang punggawa ekonomi temashur abad pertengahan ke-18, Adam Smith, yang hingga saat ini masih bertahan menjadi hegemoni dunia, dan pada pertengahan abad ke-19 oleh para penentangnya, sistem ini lebih dikenal sebagai sistem kapitalisme.
Sedikit mengulas apa yang disebut kapitalisme sebagai sistem ekonomi atau bahkan sebagai ideologi, menurut Soerjanto Poespowardojo dalam Sastrapratedja, dkk (1986), bahwa kapitalisme berasal dari paham individualisme yang berhak melakukan suatu usaha untuk mengembangkan keuntungan, modal, dan khusus ditekankan oleh Karl Marx mengenai “hak milik”. Kemudian unsur lain yang khas dalam kapitalisme, yakni mengedepankan iklim persaingan dalam usaha, di mana akan menjadikan pihak yang kuat sebagai pemenang, dan yang lemah menjadi terpuruk. Hal tersebut menjadi pokok dari bahasan kritis tentang kapitalisme sebagai sistem maupun ideologi ekonomi juga politik yang menciptakan sebuah ketimpangan struktur masyarakat dan dalam istilah Marx hal tersebut menciptakan dualisme kelas yang berlawanan, yakni kelas borjuasi dan proletar.
Kapitalisme muncul sebagai orientasi baru di pertengahan abad ke-19 akibat revolusi industri terjadi di Inggris, sehingga memunculkan kelas borjuasi dengan tumpuan kebebasan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menciptakan mesin – mesin produksi, dan rasionalitas ekonomi. Dari berbagai tumpuan pijakan utama mereka dalam melakukan tindak ekonomis, pemusatan dan pemupukan modal, diperkuat oleh hasrat manusia sebagai individu yang bebas menentukan segalanya, sehingga muncul hasrat dari mereka untuk akumulasi nilai ekonomis atau disebut oleh Marx dan para intelektual marxis sebagai akumulasi kapital. Hal tersebut yang menjadi perhatian berbagai kalangan, baik muncul dari pemikir – pemikir marxis dan kritikus sosial non-marxis yang juga menitikberatkan pada implikasi negatif sosio-ekonomi dan politik.
Dalam analisisnya mengenai kapitalisme, Marx mengulas salah satu konsep penting dalam sistem ini, yakni konsep nilai surplus (surplus value), di mana Caporaso dan Levine (1992) menyebutkan dalam konsep tersebut merupakan formulasi Marx berkenaan dengan salah satu jalur sirkulasi kapitalis (M-C-M’) di mana penggunaan modal investasi oleh kelas pemodal disalurkan dananya untuk memproduksi sejumlah barang dengan harapan laba yang maksimal (M dikurangi M’) atau nilai surplus. Analisis Marx berkenaan dengan nilai surplus dalam jalur sirkulasi kapital, dapat dianalogikan sebagai konsep riba (bunga) dalam pandangan Islam. Riba itu sendiri merupakan urat nadi daripada kapitalisme, dan itulah komponen utama dalam sistem kapitalisme hingga saat ini.
Dalam pandangan Islam, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad memiliki pandangan kritis berdasarkan Al-Qur’an suci dan Hadist tentang riba. Beliau menekankan, bahwa Islam melarang adanya pinjam – meminjam uang berdasarkan riba, karena dampaknya yang dapat membuat tatanan yang teratur menjadi sebuah kerusakan. Sebelum lebih jauh, alangkah baiknya sedikit menjelaskan apa yang dimaksud riba menurut cara pandang Islam. Menurut Maulvi M. Rahmat Ali H.O.T (1992) seorang tokoh muslim Ahmadi dalam bukunya menjelaskan, bahwa riba adalah suatu sistem yang pada hakikatnya merupakan pukulan maut bagi kelangsungan hidup orang – orang miskin, karena dengan berlakunya sistem ini terbuka jalan bagi golongan orang – orang kaya untuk “menghisap darah” si miskin tanpa mengenal belas kasihan. Yang dapat meraih faedah dari sistem riba ini hanyalah satu golongan saja.
Hal tersebut serupa dengan nilai surplusnya Marx dari jalur sirkulasi kapital untuk mengakumulasi modal untuk kepentingan ekspansi kelas pemilik modal. Sejatinya konsep riba yang bersifat tanpa belas kasih telah menjadi sesuatu yang dititikberatkan dalam Islam jauh sebelum para intelektual sosial menemukan konsepsi nilai surplus. Ali (1992) juga menjelaskan, bahwa secara individu tidak ada orang yang ingin berurusan dengan riba, kecuali seseorang yang berusaha mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya, dan tidak memiliki sama sekali rasa belas kasih di hatinya terhadap golongan miskin. Apabila rasa peri kemanusiaan tidak lagi menghinggapi satu bangsa, maka bangsa itu niscaya akan mengalami suatu kehancuran.
Melihat seluruh implikasi buruk itulah, Islam telah menetapkan larangan untuk memberi ataupun menerima riba, yang termatub dalam QS 2: 276, yakni “orang – orang yang makan riba, tidak akan berdiri melainkan seperti berdirinya orang – orang yang dirasuk syaitan dengan kegilaan. Hal demikian adalah karenanya mereka berkata: bahwasanya jual – beli itu (juga) serupa riba; padahal Allah menghalalkan jual – beli dan mengharamkan riba”. Dalam ayat suci Al-Qur’an lain Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah: 277, bahwa “Allah akan menghapuskan riba dan memperkembangkan sedekah – sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kafir (dan) banyak berdosa”. Kemudian, dalam surat Ar-Rum: 40 Allah SWT berfirman “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah”. Dalam Hadist kitab Muslim Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa “Orang yang memberi riba, orang yang menerima riba, orang yang menuliskan perjanjian riba, dan saksi – saksi, semuanya mereka itu akan mendapat laknat Allah SWT dan akan mendapat hukuman yang sama”. Rasullullah SAW dalam peristiwa Mi’raj menyaksikan pemandangan, di mana Nampak bangsa yang gemar memakan riba sedang mendapat bermacam – macam penderitaan. Beliau Ali (1992) juga menjelaskan, bahwa di zaman Masih Mau’ud, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad AS, “Riba adalah haram bagi orang – orang mukmin, dan orang – orang mu’min itu ialah yang percaya kepada Allah SWT. Jikalau seseorang percaya kepada Allah, maka Allah akan menjadi wali bagi dia dan Allah akan menjamin kehidupannya. Di dalam Islam terdapat berjuta – juta orang yang tidak memakan riba atau memberi riba, tetapi Allah SWT tetap juga mengabulkan keinginan – keinginan mereka. Allah SWT melarang untuk mengambil dan memberi riba, dan barangsiapa berbuat demikian, berarti ia sendiri melawan Allah SWT”.
Baik dalam Al-Qur’an, Hadist, ataupun dari amal perbuatan para Sahabat, dan juga sabda Masih Mau’ud AS menjelaskan seterang – terangnya, bahwa usaha riba adalah suatu pekerjaan yang haram. Ali (1992) menerangkan, bahwa riba memiliki pengaruh atau akibat yang luas sekali jangkauannya di tengah – tengah masyarakat dunia, dan itupun merupakan salah satu sumber atau pangkal penyebab kebinasaan dan malapetaka. Sebagai contoh, Perang Dunia I dan II, Depresi Besar (the great depression) 1930-an, Krisis Kredit Perumahan di Amerika Serikat 2007 dan 2010 (subprime mortgage), dan Krisis Moneter 1990-an di Indonesia merupakan krisis yang pernah dialami oleh sejarah silam, pada hakikatnya berlatar belakang dan berpangkal pada urusan riba.
Sistem kapitalisme dunia sangat memainkan perannya dalam hal – hal ribawi, seperti halnya sistem perbankan dunia dan sektor keuangan dalam bentuk lainnya. Penciptaan sirkulasi modal oleh para kapitalis ini yang dapat memelihara ketersediaan modal untuk ekspansi dari jalur sirkulasi barang ke berbagai negara, menarik bunga dari para calon nasabah dengan dalih mendorong iklim usaha di suatu wilayah atau negara, tetapi membiarkan masyarakat terdistorsi suatu krisis dalam perekonomian, yang memaksa si nasabah kredit harus membayar bunga yang tinggi, dan mereka akan terjerumus dalam kebinasaan karena gagal bayar, banyaknya usaha kecil gulung tikar, yang ujungnya pada penjualan segala macam aset, munculnya pengangguran dan kemiskinan baru. konsep bunga perbankan yang didesain oleh sistem kapitalisme itulah yang memiliki daya hisap yang masif terhadap sesuatu yang lemah. Beliau Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad juga menyinggung sebuah negara yang dalam kegiatan pemerintahannya, dan melakukan pembangunan dengan menggunakan skema – skema utang dengan bunga tinggi akan mendatangkan suatu keburukan bagi negara tersebut.
Suatu kenyataan, bahwa Allah SWT telah memperingatkan manusia untuk menjauhi riba dan memperbanyak pengorbanan dalam harta inilah yang harus ditekankan, agar terjauh dari segala kebinasaan. Kebinasaan itu bukan sesuatu yang imateril atau tidak terlihat, dampak dari riba sangatlah riil dan nyata terjadi di sepanjang zaman yang menjalankannya demi hasrat materialistik semata. Sir Zafrullah Khan (1994) dalam pandanganya menjelaskan, bahwa riba memiliki kecenderungan untuk merampas kekayaan orang lain melalui tangan segelintir manusia dan melenyapkan sifat kedermawanan terhadap sesama. Adalah suatu pendapat yang keliru, bahwa segala transaksi yang dikaitkan dengan bunga itu akan meningkatkan kemakmuran nasional. Al-Qur’an mengatakan, bahwa di sisi Allah hal seperti itu tidak merupakan peningkatan kasih saying terhadap sesama. “Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itu orang – orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
Oleh : Khalid Walid Djamaludin
Referensi
- Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakarta: Neraca Press. 2014. Print.
- Sastrapratedja, M., Riberu, J. and Parera, F.M., 1986. Menguak mitos-mitos pembangunan: telaah etis dan kritis. Gramedia.
- Caporaso, J.A. and Levine, D.P., 1992. Theories of Political Economy. Cambridge University Press.
- Ahmad, Bashiruddin Mahmud. 1949. Bentuk Dasar Ekonomi Dunia. Jakarta: Neratja Trading Company.
- Ali, Maulvi M. Rahmat. 1992. Beberapa Segi Masyarakat Islam. Bogor: Yayasan Wisma Damai.
- Khan, M. Zafrullah. 1994. Islam dan HAM (Hak Azasi Manusia). Jakarta: Arista Brahmatyasa.