Pandemi Atau Pandora?
Pandemi Covid-19 telah mengajarkan banyak hal. Kemanusiaan, solidaritas dan tentu saja kehambaan kita terhadap Sang Maha Segalanya. Tentu saja semua akan kembali kepada cara kita mempersepsikan fenomena luar biasa di tahun 2020 ini.
Tanpa kita sadari, sejak pandemi mulai membatasi ruang gerak, kita jadi lebih punya waktu bagi keluarga. Di keluarga sederhana saya misalnya, saya mulai melazimkan daras Al-Qur’an[1] pagi yang untuk tugas pembacaannya secara bergantian dilakukan oleh kedua anak saya. Biasanya setelah selesai pembacaan tafsir atau catatan kaki, saya mengulas sedikit pembahasan daras tersebut. Umumnya lebih ke kontekstualisasi isi daras dengan kehidupan sehari atau perkembangan zaman yang dari hari ke hari begitu cepat berjalan. Tentu saja sebatas kemampuan saya sebagai orangtua dan juga kedua anak saya yang baru remaja.
Pada satu pagi, bacaan Al-Qur’an kita sampai kepada ayat ke-52 dari Surah Al-Baqarah. Oh iya, hari Jum’at pagi kita libur darasnya. Selain untuk jeda untuk menyegarkan rutinitas. Tentu saja ada nasihat khutbah Jum’at sebanyak dua kali, yaitu di masjid atau di rumah dan menyimak khutbah Jum’at oleh Hudhur atba melalui MTA. Sebagaimana kita maklumi bersama, Al-Baqarah banyak membahas tentang kisah Bani Israil dan Keyahudian. Tulisan kecil ini secara sederhana akan membicarakan satu titik dalam dunia keyahudian (Yudaisme).
Seperti halnya kata mutiara Arab likulli syai’in hikmatun (untuk segala sesuatu itu ada hikmahnya) ajarkan kepada kita, bahkan pandemi pun seolah jadi kotak Pandora yang bisa kita ambil khazanahnya sesuai kapasitas diri kita masing-masing.
Siapakah Sebenarnya Yahudi Itu?
Umumnya Yahudi dianggap berasal nama Yehuda bin Ya’qub bin Ishaq. Bin secara harfiah artinya putra dari. Jadi Yehuda adalah cicit dari Nabi Ibrahim a.s.. Yehuda juga adalah saudara seayah Nabi Yusuf a.s.. Bila Yehuda putra Ya’qub dari istri Nabi Ya’qub yang bernama Lea maka Yusuf berasal dari istri beliau yang bernama Rahel. Menurut Bible Nabi Ya’qub memiliki empat istri, yakni Lea, Rahel, Bilha dan Zilpa.[2] Yahudi dalam konteks ini adalah anak keturunan Yehuda. Atau dengan kata lain Yahudi adalah Bani Yehuda. Jadi tidak semua putra Nabi Ya’qub bisa kita sebut sebagai Yahudi.
Namun saya juga hendak mengajak pembaca untuk menalar sebuah tesis menarik dari seorang kawan yang menyampaikan bahwa nampaknya terasa kurang pas untuk mengatakan bahwa sebutan Yahudi—yang kemudian menjadi sebutan atas agamanya Bani Israil terutama setelah Nabi Musa a.s.—berasal dari seseorang yang jelas bukanlah seorang nabi. Yehuda hanyalah salah satu dari 12 putra Ya’qub. Lalu bagaimana mungkin kemudian namanya menjadi nama identitas agama Bani Ya’qub?
Ada pendapat bahwa kata Yahudi berasal dari هَادَ – يَهُوْدُ – هُوْدًا yang berarti dia kembali atau bertaubat. Di dalam Al-Qur’an ada empat penyebutan saat merujuk kepada Yahudi: اَلْيَهوْدُ, يَهُوْدِيًّا, هُوْدًا danاَلَّذِيْنَ هَادُوْا yang dari keempatnya—hemat saya—itu menunjukkan kepada nama kelompok, kaum, suku bangsa, gerakan keagamaan atau pemikiran dan bukan nama agama. Bila menilik asal kata Yahudi secara kebahasaan ini, maka sebutan Yahudi bisa diterapkan kepada semua keturunan Nabi Ya’qub a.s..
Begitu juga halnya dengan Nashara atau Nashrani bukanlah nama agama. Gerakan pembaharuan yang dibawa Nabi Isa dalam syariat Musawi ini analogis dengan Jama’ah Ahmadiyah dalam syariat Muhammadi. Sebatas gerakan pembaharuan. Jadi mana mungkin itu kemudian jadi nama agama tersendiri?
Pada pembahasan ini, kita harus membuka ruang lebar untuk pendapat yang mengatakan bahwa semua agama para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. adalah Islam dengan makna istislam. Maksudnya, Islam di sini berlaku sebagai nama sifat yang berarti penyerahan diri. Nabi Ibrahim saja sebagai Abul Anbiya (Bapak Para Nabi) kita mengenal agama yang beliau bawa sebagai Millah Ibrahim (agama Ibrahim) yang pasti ruhnya adalah istislam tadi. Sementara khusus untuk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah Islam baik nama diri maupun sifat.
Apakah Bani Israil Itu Identik dengan Yahudi?
Ada satu hal lainnya yang cukup menggoda untuk dipertanyakan. Sebenarnya ini merupakan penguatan atas pembahasan kita sebelumnya. Apakah Yahudi dan Bani Israil itu sama?
Mari kita kita perlebar sedikit disikusinya. Israil (ada juga yang lebih suka menyebutnya Israel) adalah julukan untuk Nabi Ya’qub a.s..[3] Beliau mengalami perjalanan ruhani (seperti peristiwa Isra-nya Nabi Muhammad saw.) sehingga kemudian beliau diberi julukan Israil. Sebagian pendapat mengatakan nama ini diambil dari kebiasaan beliau menempuh perjalanan di malam hari. أَسْرَى dalam bahasa Arab berarti perjalanan di waktu malam.
Bani Israil artinya keturunan Israil alias putra-putri Nabi Ya’qub a.s.. Bani Israil mencakup keturunan Ya’qub dari keempat istri beliau: Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar dan Zebulon (dari Lea); Yusuf dan Benyamin (dari Rahel); Dan dan Naftali (Bilha); dan Gad dan Asyer (dari Zilpa). Kedua belas putra Nabi Ya’qub inilah yang kemudian kita kenal sebagai 12 suku bangsa Israil.
Kembali kepada pembahasan sebelumnya, bila Yahudi dimaksudkan untuk Bani Yehuda bin Ya’qub maka jelaslah bahwa Bani Israil tidak identik dengan Yahudi. Dalam perspektif ini, Yahudi adalah bagian dari Bani Israil.
Nampaknya secara sejarah pengidentikan Bani Israil dengan Yahudi terjadi saat kedatangan Nabi Musa. Kembalinya marwah Bani Israil dari titik nadir mereka di bumi Firaun ke tanah yang dijanjikan mengukuhkan tergenapinya janji Tuhan bagi mereka yang kembali kepada-Nya. Itulah makna اَلْيَهوْدُ, يَهُوْدِيًّا, هُوْدًا dan اَلَّذِيْنَ هَادُوْا sebagai kita kupas di bagian atas pembahasan kita. Adapun puncak kejayaan Bani Israil terjadi pada masa Nabi Daud a.s.. Pengidentikan dengan Yahudi dengan Bani Israil pun semakin mendapatkan dukungan secara politis karena Nabi Daud a.s. berasal dari jalur Yehuda bin Ishaq.
Namun mengingat posisi sentral Nabi Musa dalam silsilah kenabian Bani Israil, maka politik Yahudisasi Bani Israil terpatahkan. Nabi Musa bukan dari jalur Yehuda bin Ya’qub. Beliau adalah keturunan dari Lewi bin Ya’qub. Hal ini kembali menegaskan bahwa Yahudi yang dirujuk dalam Al-Qur’an lebih kepada penamaan yang bermakna هَادَ – يَهُوْدُ – هُوْدًا, yakni mereka yang kembali atau bertaubat kepada Tuhan. Dalam makna ini tentu saja Nabi Musa bersama pengikut setia beliau tidak punya alasan untuk menolak dari sebutan Yahudi selain identitas utama mereka sebagai Bani Israil.
Sebatas intermeso, begitu kuatnya energi yang terkandung dalam kata اَلْيَهوْدُ sampai-sampai dalam bahasa Indonesia ada serapan kata ‘yahud’ untuk mengungkapkan sesuatu yang luar biasa.
Lalu Bagaimana dengan Negara Israel?
Nah ini juga satu hal yang lain lagi. Israel adalah nama negara. Cita-citanya memang berawal dari kerinduan bangsa Yahudi yang berdiaspora pasca terusir dari Yerusalem terutama pada zaman penguasaan oleh Babilonia di bawah kepemimpinan Nebuchadnezzar II. Negara Israel berdiri yang pada 14 Mei 1948 atas gagasan Theodor Herzl yang kemudian secara gerakan dikenal sebagai Zionisme. Namun sebagai negara, di Israel penduduknya diberi kebebasan untuk menganut agama selain Yahudi. Malah Islam Ahmadiyah hidup dengan damai di negara tersebut. Ahmadiyah masuk ke Kababir, Palestina–yang kemudian termasuk wilayah otoritas Israel–sebelum negara Israel sendiri berdiri.
Yahudi: Terpilih Lalu Tercampak
Kembali ke pembahasan daras pagi itu. Bangsa Yahudi, keturunan Yahuda bin Ya’qub, sebagai keturunan Datuk Ibrahim dari silsilah Ishaq memiliki keistimewaan kecerdasan yang luar biasa. Hingga kemudian–meski banyak ditentang oleh kalangan mereka sendiri–sekelompok kecil dari kaum Yahudi mendirikan gerakan universal Masonry atau lebih kita dengar sebagai Freemasonry. Secara populer Freemasonry disebutnya Masonic. Gerakan ini bersifat universal karena keanggotaannya terbuka bagi siapapun lintas agama, lintas ras dan lintas identitas. Tujuannya menciptakan tatanan dunia baru yang berbasis kepada nilai universal kemanusiaan.
Novus Ordo Seclorum atau secara sederhana kita terjemahkan sebagai Tatanan Dunia Baru adalah cita-cita utopis kelompok Masonic ini. Sebagian dari kita menganggap gerakan ini sebagai gerakan universal yang tidak berkiblat pada satu ideologi tertentu, khususnya Yahudi. Tapi meski demikian, bagaimanapun tidaklah terlalu sulit untuk membuktikan kebalikannya.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menerima wahyu berikut: Freemasons will not be put in power to destroy him (Freemason tidak akan berdaya untuk menghancurkan dia—maksudnya Hd. Masih Mau’ud a.s.).[4]
Sebagai tambahan, dalam sebuah acara majlis irfan, Hadhrat Khalifatul Masih IV r.a. juga menegaskan, “Tahrik-e-Jadid is the only antidote of freemasons (Tahrik Jadid adalah penangkal gerakan Freemasons).”[5]
Dari dua kutipan di atas kita bisa menarik benang merah bahwa gerakan ini akan berupaya dengan segala cara untuk menyingkirkan Jamaah yang ditanam oleh Allah SWT ini.. Namun alih-laih mereka akan berhasil, justru merupakan takdir mereka untuk dikalahkan oleh Al-Masih Muhammadi.
Tatanan dunia baru yang ditawarkan kaum Masonic yang berakar dari Bani Yehuda ini—yang ke atasnya nanti akan mewakili silisilah Ishaq bin Ibrahim—berhadapan langsung dengan tatanan dunia baru yang dicanangkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yakni Gerakan Al-Wasiyat berakar dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.—yang ke atasnya nanti akan mewakili silsilah Ismail bin Ibrahim. Dan langit sudah mencatatkan bahwa skema Freemasonry akan dikalahkan oleh skema Al-Wasiyat-nya Hadhrat Masih Mau’ud a.s..
Ahmadiyah Sang Nemesis
Barangkali akan terkesan dogmatis—dan saya terima konsekuensi itu—untuk mengatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah adalah satu-satunya organisasi yang ditakuti kelompok Masonic. Pertama, secara universalitas, ruh gerakan Ahmadiyah jauh lebih universal. Mengapa? Bila ruh pergerakan kaum Masonic ini berangkat dari buah pemikiran yang bercorak kebangsaan Bani Yehuda–meski janji para pegiatnya bahwa gerakan ini akan bersifat universal, maka ruh Nizam Al-Wasiyat adalah Islam yang merupakan rahmatan lil-‘alamin. Sebuah konsep yang bukan hanya milik bangsa Arab, bukan hanya milik Bani Ismail atau bahkan bukan juga untuk klan besar Sang Bapak Para Nabi, Ibrahim a.s. saja. Al-Wasiyat lebih dari itu.
Kedua, nilai-nilai Islam yag menjadi akar dari gerakan Al-Wasiyat jauh lebih hakiki, sesuai fitrat kemanusiaan dan jauh lebih fleksibel baik secara ruang maupun waktu sesuai karakter agama Islam sebagai dinul fitrah (agama yang selaras dengan fitrah).
Jelas ini adalah ancaman maut bagi gerakan yang bermodal cita-cita gebyar Novus Ordo Seclorum. Ahmadiyahlah yang akan membuat impian para pegiat lintas era tersebut pudar–atau ambyar bila meminjam istilahnya almarhum Mas Didi Kempot.
Di ujung tulisan ini saya tergoda untuk menarik sebuah simpulan. Karena Freemasonry ditakdirkan takluk di tangan Al-Masih Muhammadi—sebagaimana Dajjal akan terbunuh di pintu Lud oleh Al-Masih Muhammadi[6], maka Freemasonry adalah nama lain dari Dajjal. Wallahu a’lam!
Bila ikut serta dalam gerakan Al-Wasiyat serupa kita berperang melawan Dajjal, maka sungguh besar makna keikutsertaan kita ini. Nah, sudahkah kita bergabung ke dalam nizam Al-Wasiyat?
***
Oleh : Dodi Kurniawan
Sumber :
[1] Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Singkat Jemaat Ahmadiyah Indonesia
[3] Fathul Qadir 1/77, tafsir surat Al-Baqarah ayat 40-42 oleh Imam Syaukani dikutip dari https://konsultasisyariah.com/30823-benarkah-israel-nama-nabi.html
[4] Al-Hakam Vol. 5 No. 37, October 10, Pag.7.
[5] Q/A 23 Febrauri 1985 https://web.facebook.com/BISMILLAHAHMADIBELIEFS/videos/1046008328763772/?_rdc=1&_rdr
[6] HR Ahmad, Turmudzi, dan Nu’aim bin Hamad.
Sumber Gambar: www.thesustainablecentury.net