Pendidikan Seksual untuk Anak, Tabu atau Perlu?

1367

Sebuah kabar viral medio Juni 2021 lalu, tentang artis wanita yang mengajak serta kedua anaknya untuk menonton film bergenre “X”. Diinformasikan bahwa kedua putranya sudah menginjak usia remaja bahkan dewasa (17 tahun dan 19 tahun), sehingga hal tersebut adalah cara untuk mengedukasi alih-alih merusak pikiran anak dengan pornografi.

Tanpa melihat siapa dan bagaimana cara yang diambil oleh “sang bintang” dalam memberikan edukasi seksual pada anak, seharusnya ada pertanyaan penting, “apakah pendidikan seks perlu diberikan pada anak?”. Aktivitas seks yang dilakukan oleh orang dewasa, perlukah diberikan pemahaman juga untuk anak-anak?

Pelecehan Seksual Pada Anak

Beberapa yang kontra dengan langkah “edukasi” artis tersebut, mendasarkan pendapatnya pada bab pelecehan seksual pada anak. Tanpa melihat individu dan tanpa berdebat tentang usia anak yang secara legal sudah dapat disebut dewasa[1], keduanya terbilang berada di usia rentan pelecehan seksual, baik sebagai objek maupun subjek.

Masyarakat bisa melihat bagaimana pelecehan atau kekerasan secara seksual kerap diberitakan menimpa anak-anak atau remaja. Meninjau definisi dari pelecehan atau kekerasan, hal ini berarti ada unsur dominasi dari pelaku yang memanfa’atkan ketidakberdayaan korban, yang dalam hal ini adalah karena usia korban di bawah umur.

Pertanyaan kemudian muncul, sebelum berpikir kepada dampak buruk masa depan anak, terlebih dahulu perlu dipertanyakan, “apakah sebenarnya si anak tersebut sadar dengan kondisi yang dialami?”.

Anak-anak yang beraktivitas di luar rumah, kemudian disentuh di bagian tubuh tertentu oleh orang dewasa, tidak bisa dibiarkan hanya dengan dalih ‘orang itu bercanda’. Hal semacam ini harus mulai diberikan pemahaman bahwa inilah sinyal awal adanya pelecehan seksual kepada anak-anak, yang bahkan bisa terjadi di sekolah.

Jika sejenak flashback pada kasus Jakarta International School, dapat dilihat bagaimana sekolah tidak lagi menjadi tempat bermain yang menyenangkan untuk anak TK. Tidak berhenti di sana, kasus familial abuse, atau kekerasan seks yang dilakukan oleh keluarga pun kerap terdengar di media, yang kemudian menjadi sinyal bahwa anak-anak tidak selamanya aman dari hentakan nafsu orang dewasa.

Masyarakat seharusnya tidak berhenti dengan mengatakan, “mungkin orang itu tidak sengaja, Nak.”, sekadar untuk menghibur. Tidak juga selesai dengan mengangkat isu gangguan kejiwaan dan kelainan orientasi seksual sebagai alasan pembenaran, tanpa memberikan perlindungan optimal kepada anak dari ancaman pelaku kekerasan seksual.

Pentingnya Pendidikan Seksual

Kembali kepada berita viral di atas, mari sejenak membawa arah pemberitaan ini kepada “niat” yang diinginkan sang Ibu untuk memberikan pendidikan seksual kepada anak-anaknya. Dengan demikian, ada hal penting yang juga patut digarisbawahi yaitu perlunya pendidikan seksual di keluarga, khususnya untuk anak-anak.

Anak merupakan anggota keluarga yang juga memiliki organ seks layaknya manusia dewasa. Artinya, kelak mereka juga akan menggunakan organ tersebut secara alami dalam rangka melepaskan dorongan seksual. Namun, ada kondisi yang harus “dikawal” oleh orangtua, agar anak-anak terlindungi dari tindak kejahatan dan juga kelak ketika dewasa ia pun bertanggung jawab kepada lingkungannya.

Hal ini berarti, aktivitas mendidik anak terkait hal ini, tidak terbatas pada pembekalan akademis dan agama saja, tetapi juga bagaimana penerapannya secara sosial. Pendidikan seks bagi anak menjadi penting dengan metode yang tepat, agar anak tumbuh dan berkembang secara wajar dan memahami perannya di masyarakat.

Pendidkan seks, sebagaimana dikutip dari Amirudin, mengandung makna bahwa ada hal penting yang harus diperkenalkan, diberikan pemahaman dengan metode yang dilakukan secara sadar dan sistematis oleh keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat. Hal ini berarti, keluarga memegang tanggung jawab juga ketika terjadi hal buruk dalam tahap perkembangan anak.

Anak-anak yang mendapatkan pemahaman tentang organ seksual, diharapkan akan berbarengan dengan memahami bagaimana harus menjaganya, tidak sekadar dalam urusan kebersihan jasmani, tetapi juga secara moral dan sosial.

Lebih jauh lagi, pendidikan seks tak ubahnya sebuah pondasi agar ketika mencapai usia dewasa, sudah berbekal pola pikir yang cukup dengan pengetahuan dan taraf kedewasaan yang sesuai dengan usianya. Sehingga, keluarga secara perlahan mempersiapkan anggota keluarganya untuk sangat siap ketika akan membentuk keluarga baru.

Diulas dalam jurnal psikologi oleh Suherman, bahwa pendidikan seks pada anak juga akan mengarah kepada peningkatan rasa percaya diri terhadap gender. Anak laki-laki akan bangga dengan kelaki-lakiannya. Demikian halnya anak perempuan akan bangga dengan perannya sebagai perempuan.

Pendidikan Seksual Anak dalam Islam

Ketika mendengar nasihat indah di dalam Islam, bahwa baginda Nabi Muhammad saw tidak meninggalkan satu perkara pun yang belum diajarkan, maka hal ini seharusnya menjadi rambu-rambu bahwa Islam pun memiliki cara untuk mendidik anak terkait masalah tersebut. Lebih dalam lagi, pendidikan di dalam Islam bukanlah mendikte. Jika ingin mendapatkan anak-anak yang sholeh, maka perubahan akhlak juga berlaku untuk kedua orang tuanya.

Hal ini dapat dilihat dari hadits nabi yang artinya “Demi Tuhan yang diriku ada dalam genggaman-Nya, jika seorang suami menggauli istrinya, sementara di rumah itu ada seorang anak kecil yang terbangun sehingga melihat mereka, serta mendengar ucapan dan hembusan nafas mereka, ia tidak akan mendapatkan keuntungan, jika anak itu baik laki-laki maupun perempuan melainkan menjadi pezina.”

Maka dapat ditarik makna bahwa pendidikan seks tak ubahnya pendidikan akhlak, utamanya bagi orangtua. Lebih jauh lagi, Islam sudah mengajarkan pendidikan seks dimulai dengan menanamkan rasa malu yang secara konkret diwujudkan dengan menutup aurat dan menundukkan pandangan baik laki-laki maupun perempuan.

Terkait hal ini, secara spesifik Khalifah Jama’ah Muslim Ahmadiyah beberapa kali menekankan pentingnya masalah pardah bagi kaum perempuan Ahmadi. Pardah adalah perkara yang tidak bisa ditawar bagi perempuan Ahmadi, bukan hanya dalam perkara jasmani dengan bentuk pakaian, namun juga akhlak untuk menjaga pandangan dan tidak mengumbar kecantikan, terutama di media sosial.

“Kalau ada seseorang yang beranggapan bahwa Jema’at akan mundur karena ketegasan ini, bahwa orang-orang akan mulai menjauh dari Jema’at, mereka harus tahu bahwa Jema’at TIDAK AKAN mengalami kemunduran. Apabila semua wanita semacam itu harus meninggalkan Jema’at, Allah telah berjanji bahwa Dia akan mendatangkan bangsa-bangsa baru yang akan masuk ke dalam Jema’at Ahmadiyah”.[2]

Selanjutnya, Islam juga membuat individu bangga dengan kodratnya sebagai laki-laki maupun perempuan dengan pakaian yang sesuai. Rasulullah melaknat laki-laki yang berlagak meniru wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki (HR. Bukhari).

Berikutnya ada pula ajaran untuk memisahkan tempat tidur anak di usia tertentu, meminta izin ketika menemui orangtua di kamarnya di waktu fajar, siang hari dan selepas Isya (Q.S. An-Nur 59-61 dengan Bismillah). Hal tersebut tidak lain adalah sebuah penjagaan untuk anak, supaya tidak terbuka potensi terlihat aurat orang dewasa oleh anak.

Pendidikan tentang organ seksual juga diajarkan dalam kaidah ketika terjadi menstruasi (untuk perempuan) dan ihtilam (untuk laki-laki), etika bergaul agar menghindari khalwat (laki-laki dan perempuan berdua di suatu tempat), ataupun ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan). Beberapa kaidah tersebut tersurat dengan tegas di dalam Al-Qur’an dan hadist, sebagai pedoman dalam kehidupan umat Islam.

Maka dengan penjelasan tersebut, jelaslah kiranya bahwa pendidikan seks adalah hal yang perlu, bahkan penting dilakukan kepada anak. Anggapan tabu muncul hanya karena sudut pandang sempit, bahwa pendidian seks hanya terbatas pada aktivitas seks itu sendiri. Padahal, banyak aspek yang wajib diketahui sebagai upaya melindungi diri dan keluarga dari sexual abuse.

Setiap individu dewasa haruslah sadar tentang tanggung jawabnya terhadap dorongan seksual yang meskipun alami namun tidak seharusnya dilampiaskan kepada individu lain yang tidak sah, baik secara hukum negara, norma adat, maupun syari’at agama. Dengan demikian, terhadap tanggung jawab tersebut terdapat juga tanggung jawab moral untuk menjaga dan melindungi orang lain, terutama anak atau remaja yang belum mampu membela dirinya sendiri. Perihal bagaimana cara terbaik untuk mengajarkan pendidikan seksual kepada anak, maka kembalikan lagi kepada pedoman yang digunakan dalam hidup. Kehidupan bermasyarakat dengan norma susila, kehidupan bernegara dengan beragam kodifikasi undang-undang dan kehidupan sebagai umat Islam kepada kalamullah Al-Qur’an karim, sunnah dan hadis.


Penulis : Rahma A. Roshadi

Sumber :

  • Dewasa menurut undang-undang memiliki batasan umur beragam. Menurut KUH Perdata dna Kompilasi Hukum Islam, usia dewasa jika sudah kawin atau berumur 21 dan belum kawin. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 23 Tahun 2002 jo UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, UU No. 44 tahun 2008 Tentang Pornografi, UU No. 12 Tahun 2006, dan UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan batas dewasa mulai 18 tahun.
  • Naskah pidato Khalifah ke-5 Jemaat Ahmadiyah Hazrat Mirza Masroor Ahmad pada Ijtima Lajnah Imailah (Perhelatan Akbar Perempuan Ahmadiyah), Inggris 2006.
  • 3 [1] Naskah pidato Khalifah ke-5 Jemaat Ahmadiyah Hazrat Mirza Masroor Ahmad pada Ijtima Lajnah Imailah (Perhelatan Akbar Perempuan Ahmadiyah), Inggris 2006.