Emansipasi Wanita Bukanlah Produk Baru

1644

Setiap tanggal 21 April, warga Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kartini, yang diambil dari nama Raden Ajeng Kartini, seorang anak keturunan bangsawan jawa, Raden Mas Adipati Ario Sasroningrat. Hari tersebut dikenal oleh masyarakat sebagai penanda terlepasnya belenggu kegelapan menuju masa depan yang lebih beradab. Beliau dianggap sebagai Duta Wanita Indonesia sepanjang masa, yang menganggas sebuah istilah ‘emansipasi wanita’. Seperti bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, pahlawan bangsa tersebut mengangkat derajat kaum perempuan pribumi khususnya yang berada dalam status sosial yang rendah saat itu.

Rasulullah SAW penggagas utama ‘emansipasi wanita’

Taukah anda, ‘emansipasi wanita’ bukanlah produk baru di negara ini, itu telah ada sebelumnya. Sekitar 1500 tahun lampau, Nabi Agung Muhammad SAW lah penggagas utamanya dan dunia sudah mengetahui hal kesetaraan perempuan sejak saat itu. Sebagaimana sejarah mencatat, masa-masa sebelum Rasulullah SAW hadir, perempuan sama sekali tak dihargai. Anak perempuan dianggap lebih rendah derajatnya daripada laki-laki, bahkan kaum jahiliyah menganggapnya kelahiran seorang anak perempuan sesuatu kehinaan yang akan membawa kesialan, sehingga anak perempuan diasingkan dan tidak sedikit dikubur hidup-hidup. Perempuan saat itu hanya dianggap sebagai pelampiasan nafsu syahwat.

Orang paling bertaqwa

Rasulullah SAW datang ke dunia ini membawa ajaran Ilahi yang begitu latif. Beliau SAW menghapuskan anggapan-anggapan salah tentang ajaran nenek moyang mereka yang tersebar secara turun temurun. Rasulullah SAW menyampaikan dan mencontohkan firman Allah SWT bahwa kaum perempuan dan laki-laki adalah sama, tidak ada yang membedakan keduanya kecuali tingkat ketaqwaan mereka, seperti dalam Al-Quran: “….Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantaramu….” (QS. Al-Hujurat: 14). Dari ayat tersebut kita memahami dengan jelas, bahwa kemuliaan seseorang dihadapan Allah SWT adalah berdasarkan ketaqwaannya, bukan kepintaran atau bentuk fisiknya. Aturan itu berlaku untuk seluruh umat manusia, baik perempuan maupun laki-laki.

Perempuan memiliki hak waris

Ajaran Islam juga membuktikan kesetaraan Islam melalui pembagian hak waris. Islam mewajibkan pembagian hak waris secara sepatutnya dan semua anggota keluarga menerimanya tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Sebagaimana firman Allah SWT, “Bagi perempuan ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua-nya serta kerabat-nya, dan bagi perempuan-perempuan pun ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua-nya dan kerabat-nya,….” (QS. An-Nisa: 8). Sebelumnya tak pernah ada agama yang memikirkan perkara ini. Mereka menganggap bahwa kaum perempuan tak pantas mendapatkan hak waris orang tuanya. Itu sepenuhnya diwariskan kepada anak-anak laki-lakinya. Bahkan jika tidak memiliki anak laki-laki, harta warisan itu sepenuhnya diberikan kepada saudara-saudara laki-lakinya (pewaris). Namun Islam menyangkal ketidak-adilan tersebut, terlebih jika anak perempuan tak mempunyai saudara laki-laki dan atau sebagai anak tunggal, Islam menasihatkan “…dan jika ia hanya seorang perempuan maka bagiannya adalah seperdua….” (QS. An-Nisa: 12). Begitu juga dalam kondisi lain, perempuan tetap berhak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya.

Keutamaan menghormati Ibu

Bukti yang menyatakan kesetaraan kaum perempuan dan laki-laki terdapat di dalam riwayat Rasulullah SAW lainnya yang kita ketahui bersama. Saat itu sahabat bertanya kepada Nabi SAW, “Siapakah yang harus saya hormati ya Rasulullah?” beliau dengan tegas menjawab “Ibumu”, sampai tiga kali pertanyaan itu dilontarkan oleh sahabat tersebut “Siapa lagi ya Rasulullah?, namun beliau SAW tetap menjawab dengan jawaban yang sama ”Ibumu”, barulah jawaban keempat beliau “bapakmu” dan selanjutnya “kerabatmu”. Hal ini tak lah berlebihan, karena Allah SWT pun memerintahkan kita untuk menghormati ibu kita yang telah mempertaruhkan kehidupannya untuk melahirkan dan menyapihkan kita selama dua tahun (lihat QS. Luqman: 15).

Pengabdian sang Ibu tak terhenti sampai disitu, dia harus tetap merawat dan memberikan pendidikan anaknya untuk bekal ketika mereka kelak menjadi dewasa. Seperti sabda Nabi SAW: “Di antara kewajiban ibu terhadap anaknya adalah mendidik anaknya dan membaguskan namanya.” (HR. Baihaqi). Ini adalah sikap yang mulia, “Allah akan merahmati orang yang membimbing anaknya untuk senantiasa berbuat baik pada orang tuanya.” (HR. Ibnu Abi Sayibah).

Perempuan menjadi mitra laki-laki

Islam mengajarkan untuk saling menolong, begitu juga dengan perempuan mempunyai hak sama untuk menolong kaum laki-laki, “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan satu sama lain bersahabat/sebagai penolong.” (QS. At-Taubah 71). Ayat tersebut mengisyaratkan, kedudukan perempuan yang sama dengan laki-laki, mereka bisa menjadi mitra satu sama lain selama memperhatikan batasan-batasan yang diajarkan Islam. Perempuan bisa menjadi auliya bagi kaum laki-laki sesuai dengan kodratnya tanpa harus melupakan kewajibannya sebagai seorang ibu yang mempunyai anak.

Kesimpulan Sejatinya ‘emansipasi wanita’ bukanlah produk asli negara ini. ‘Emansipasi wanita’ telah diproklamirkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad SAW sekitar 1500 tahun lalu. Beliau menekankan untuk menghargai perempuan sebagaimana menghargai laki-laki dan juga makhluk lainnya. Salah satu contohnya, Rasulullah SAW menikahi janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, baik itu karena pensyahidan di medan perang atau pun hal-hal lainnya. Semua manusia adalah sama, hanya ketaqwaan lah yang membedakannya. Saat itu untuk mewujudkan kesetaraan wanita sangatlah sulit bahkan mustahil, sehingga beliau SAW pun turut dimusuhi oleh kaum jahiliyah. ‘Emansipasi wanita’ adalah produk original Islam, agama-agama lain tak pernah ada yang berpikir untuk mewujudkan ini. Bahkan sampai sekarang kejahiliyahan semacam itu masih bisa kita temukan, sebagai contoh di India perempuan mendapat perlakuan yang tak sama dengan laki-laki.  Perempuan dianggap berderajat rendah dan tak dihargai sebagaimana layaknya.


Oleh: Mubarak Muslikhuddin

Sumber Gambar: pukultujuh.com